Sabtu, 21 Desember 2013


Ngayogyakarta Hadiningrat

Sejak datangnya V.O.C. di Jawa sampai pada tahun 1705, ia telah membuat 111 kali Perjanjian dengan kerajaan Mataram. Perjanjian-Perjanjian itu merupakan „Perjanjian dagang" saja, soal-soal yang berkenaan dengan politik sama sekali tidak disinggung-singgung. Besar kemungkinannya karena pada waktu itu kedudukannya disini tidak lebih daripada „orang asing yang mendatang, untuk mencari keuntungan dengan jalan berniaga." Tetapi karena satu dan lain sebab, dan mengetahui juga tentang kelemahan-kelemahan Mataram setelah dikemudikan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II, pula dengan bantuan orang-orang Mataram sendiri yang bekerja didalam Pemerintahan, diantaranya ada yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, yang „jiwanya" sudah dibelinya, maka dalam Perjanjian No. 112, mulailah mengindjak pada lapangan politik, meskipun tidak terlalu luas. Perjanjian itu antara lain disebut-sebut bahwa „sesuatu pelanggaran terhadap kepada VOC.,V.O.C. berhak untuk menuntut terdakwa-terdakwa itu dihadapan pengadilan-nya V.O.C. sendiri, yang telah didirikan di Semarang sejak tahun 1733".
Sementara itu; pada tahun 1742 karena „masakannya" V.O.C., di Jawa Tengah telah timbul pembrontakan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa, berhasil mendapat „kemenangan" disepand yang pesisir Utara, mulai dari daerah Rembang, akhirnya menggempur Kartasura, Ibukota Mataram. Karena kelemahan-kelemahan-nya Kartasura yang disebabkan perlawanan R.M. Said c.s. putera Pangeran Mangkunegara yang diasingkan ke Ceylon karena desakan V.O.C., maka jatuh lah Kartasura. Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan „penasehatnya", van Hohendorff, yaitu wakil Gubernur Jendral van Imhoff, yang ditempatkan di Semarang, dapat menyelamatkan diri ke Ponorogo. Dalam pada itu Sri Susuhunan Paku Buwono II telah meminta pertolongan V.O.C. untuk merebut kembali Ibukota Mataram. Ternyata „pertolongan" itu berhasil, tetapi direbutnya kembali Kartasura, pada hakekatnya tidak menambah keluhurannya Mataram, sebaliknya malahan seakan-akan defacto Mataram sudah ada ditangan V.O.C., sebab kemenangan tentara Mataram dengan „bantuannya" VOC. itu, menyebabkan lahirnya Perjanjian baru antara kerajaan Mataram dengan V.O.C., yang terkenal dengan „Perjanjian Ponorogo", dalam tahun Masehi 1743. Pada sesungguhnya Perjanjian itu lebih betul dikata „politik kontrak", sebab diantara lain, berisi juga :
1. Dalam pengangkatan Patih (Rijksbestuurder), calon-calon yang akan diang¬kat oleh Sri Susuhunan, haruslah lebih dahulu mendapat persetudjuan V. 0. C.
2. Demikian juga dengan halnya pengangkatan-pengangkatan Bupati-Bupati pasisiran.
3. Rakyat Mataram tidak diperbolehkan membuat perahu.
4. Pelajaran seluruh Indonesia menjadi monopoli V.O.C.
5. Perdagangan seluruh Indonesia dikuasai oleh V.O.C.
Rasa kegirangan Sri Susuhunan karena direbutnya kembali Kartasura dari tangan pembrontakan Pacina, demikian biasanya disebut orang, tidak terhingga, dan karena kegirangan itu, maka beliau tanpa minta pertimbangan para Najaka dan para Pahlawan-pahlawan Mataram, diantaranya termasuk juga Pangeran Mangkubumi, telah menerima baik „politik kontrak" yang disodorkan oleh van Hohendorff, sebagai H-akil van Imhoff. Dengan ditanda-tanganinya politik kontrak itu, timbullah kegoncangan didalam kalangan keluarga Keraton, terutama mereka yang didalam hati kecilnya sudah berisi benih-benih tidak per jaja dan ben ji kepada cara - caranya V, O. C. merebut ,.djantungnya" Mataram. Mereka dibawah pimpinannya Pangeran Harijo Mangkubumi, diantaranya termasuk para Pudjangga, yang dimasa itu mempunyai kedudukan juga sebagai Parampara (penasehat) politik Negara.
Oleh karena keadaan Ibukota Kartasura akibat pembrontakan Pecina itu mendapat kerusakan besar, dan Keraton sudah tidak lagi merupakan tempat suci karena telah diinjak-injak oleh pembrontak-pembrontak itu, maka Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan persetudjuannya para Najaka berkenan memindahkan Ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Pemindahan Ibukota itu diperingati dengan Candra sangkala „Nirsapta obahing rat" = 1670.
perlawanan" Raden Mas Said, yang terkenal dengan gelaran (Pangeran Sambernyawa, disebabkan tidak rela melihat mendjalarnya kekuasaan V.O.C. didalam kerajaan Mataram. dengan dibantu oleh Pangeran Martapura, Bupati di Grobogan, makin meluas. Kejadian itu menyebabkan Sri Susuhunan Paku Buwono II merasa kawatir akan keselamatan Mataram. Justru karena ltu lalu disajembarakan, kepada barang siapa yang sanggup menindas „pembrontakan" Raden Mas Said cs. akan diberinya hadiah Tanah Sukawati.
Dengan cara yang berani, Pangeran Mangkubumi telah berangkat untuk menolong Mataram dari bahaja-bahaja yang bisa timbul karena „perlawanan" R. M. Said dan Martapura.Ternyata berhasil baik, kekuatan R.M.Said dan Martapura dapat di prasrahkan. tetapi kedua pemimpin „pembrontakan" itu dapat meloloskan diri.
Dengan melihat keberanian Pangeran Mangkubumi, dan mengetahui pula pengaruh Pangeran revolusionair itu kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II, orang-orangya Hohendorff yang ada didalam kalangan Pemerintahan dan berdekatan Sri Susuhunan,sama berusaha supaya hadiah yang akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dibatalkan, dengan alasan bahwa kedua orang pemimpin „pemberontak" itu tidak dapat dibunuh mati atau ditangkap. Tetapi pada hakekatnya, kalau pendapat-pendapat demikian itu diajukan, adalah karena mereka kawatir; bila tanah Sukawati jatuh pada tangan Pangeran Mangkubumi, tentulah pengaruh dan kekuasaan Pangeran ini akan lebih berbahaya bagi kedudukan V.O.C.
Demikianlah, Sri Susuhunan Paku Buwono II, yang sejak itu kesehatannya selalu terganggu, menerima juga usul untuk membatalkan hadiah yang sudah dijanjikan kepada Pangeran Mangkubumi. Pembatalan inilah yang menyebabkan patah hatinya Pangeran Mangkubumi, hingga bersama-sama dengan Pangeran Hadiwidjojo, Pangeran Widjil II, Pangeran Krapyak dan lain-lain Pahlawan lagi, yang merasa bahwa segala kekalutan Mataram „berasal dari usaha-usaha V.O.C,. dan orang-orangnya yang ditanam didalam Pemerintahan", pada tanggal 19 Mei 1746 dengan diam-diam meninggalkan Surakarta, untuk membuat perlawanan.
Lain dorongan lagi yang menyebabkan beliau bersama-sama dengan pengikut pengikutnya, merasa tidak tahan lagi melihat berkembang dan meluasnya kekuasaan V.O.C., adalah Perjanjian yang dibubuh tanda tangan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 18 Mei 1746. Dalam Perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa: Pulau Madura seluruhnya, dan pasisir Utara, sejak itu menjadi milik V.O.C: yang absah. Atau dengan lain perkataan, tidak lagi menjadi daerah Mataram. Dan disamping itu, Sri Susuhunan bersedia akan memberikan bantuan sekuat tenaga, bila diminta oleh V.O.C.,untuk menindassegala anasir-anasir yang bisa merugikan V.O.C.
Dengan terlaksananya Perjanjian ini, maka Pangeran Mangkubumi dan kawan-kawannya sama merasa, bahwa kekuasaan dan pengaruh V.O.C. tidak akan hanya berhenti sampai disitu saja, bila tidak dilawan dengan kekuatan senjata, karenanya sehari setelah terdjadinya Perjanjian itu, beliau cs. meninggalkan Surakarta.
Keadaan Mataram sejak membrontakrija Pangeran Mangkubumi makin menjadi sulit, terutama setelah Pangeran Mangkubumi dapat menggabungkan diri dengan barisan-barisan yang dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Martapura. Dengan cepat sekali daerah-daerah pasisiran yang ada sekeliling Surakarta, dapat dikuasainya oleh „pembrontak". Perlawanan didaerah-daerah Sukawati (Sragen) keselatan, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi sendiri, daerah Grobogan ke selatan sampai daerah Bojolali Utara, dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Martapura, daerah Semarang-Selatan, Ambarawa, Salatiga-Selatan, dipimpin oleh Pangeran Widjil II dan Pangeran Krapyak, sedang didalam daerah Kedu Utara dan Selatan, pimpinannya ada ditangan Pangeran Hadiwidjojo. Dengan demikian Ibukota Mataram telah dikurung dari tiga penjuru, yang makin lama makin mendesak.
Sementara itu didalam Keraton Surakarta telah terjadi satu peristiwa, yang sangat menyedihkan, terutama bila dipandang dari sudut „kemerdekaan sesuatu bangsa", sebab dengan cara yang sangat mudah sekali van Hohendorff sebagai wakilnya Gubernur Jendral van Imhoff, telah berhasil merampas kekuasaan Mataram dari tangan bangsa Jawa, dan sejak itu pula tanah air kita jatuh ditangan dan kekuasaan asing (V.O.C.). Dalam keadaan sakit keras, dan dalam saat-saat mendekati mangkatnya, van Hohendorff telah berhasil memaksa kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk membubuh tanda tangan pada surat Perjanjian: „Penyerahan Negara Mataram seluruhnya kepada V.O.C., hanya dengan sarat keturunan Baginda yang memang berhak naik tahta kerajaan, turun menurun, akan dinobatkan menjadi Raja di Mataram oleh V.O.C.,kepadanya akan diberi pinjaman Negara Mataram .
Dengan terlaksananya Perjanjian tanggal 16 Desember 1749 tersebut diatas, tamatlah sejarah kerajaan Mataram, karena meskipun selanjutnya masih disebut-sebut didalam sedjarah, tetapi pada hakekatnya hanya „nama" saja, sebab baik de jury maupun de factonya, sejak terjadinya Perjanjian itu, sudah ada ditangan V.O.C. Demi berita penyerahan Negara Mataram kepada V.O.C. itu sampai telinga Pengeran Mangkubumi cs., makin menyalalah maksudnya untuk mengusir V.O.C. dari Jawa, karena hanya dengan jalan itu saja, Negara Mataram bisa ditolong, direbut kembali dari tangan orang asing yang mendatangnya disini semula hanya untuk berdagang, mencari keuntungan sendiri. Tetapi sebelum kehendak suci itu berhasil, terdengarlah kabar bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II berturun tahta, mbegawan, dengan gelar Kiai Ageng Mataram. Maksudnya yang terutama adalah untuk mempercepat dinobatkannya Putera Mahkotanya.
Dalam buku „Peringatan Keraton Surakarta, turunnya dari tahta Sri Susuhunan Paku Buwono II itu, diperingati dengan candra sangkala „Gatining sang sabda raszeadi" = 1675.
Dengan turun tahtanya Sri Susuhunan Paku Buwono II itu, berarti bahwa Mataram tiada ber-Raja, dan justru karena itu, maka dengan kehendak dan persetujuannya para pengikut Pangeran Mangkubumi yang mengkawatirkan kalau-kalau V.O.C. mengangkat seorang diantara orang-orangnya untuk menduduki tahta kerajaan Mataram, maka beliau oleh pengikut-pengikutnya dinobatkan menjadi Raja Mataram, dengan gelaran Susuhunan Paku Buwono. Penobatannya dilakukan pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1675 atau 11 Desember 1749, didesa Kebanaran dan justru karena itu, terkenal juga dengan gelar Susuhunan Kebanaran.Sejak itu, Susuhunan Paku Buwono Senapati ing Alaga 'Abdulrachman Sjaji'din Panata Gama, demikianlah gelarannya lengkap, atau dengan singkatan Susuhunan Kebanaran, pengaruhnya makin besar, sendirinya kekuatan angkatannya makin demikian rupa, hingga jatuhnya Mataram (Bacalah: Surakarta) boleh dikata hanya tinggal menantikan saatnya saja, sebab baik angkatan Mataram, maupun angkatan Kompeni, boleh dikata sudah, hampir tidak berdaja. Tetapi rupanya kehendak sejarah sangat bertentangan dengan yang diharapkan.
KELEMAHANNYA Surakarta (dengan bantuan V.O.C.) dalam menghadapi perlawanan Pangeran Mangkubumi cs. mulai dirasakan oleh V.O.C. la mengetahui pula bahwa dengan mempergunakan senjata, tidak akan membawa hasil untuk melemahkan kedudukan Susuhunan Kebanaran cs., sebab kenyataan makin lama makin mendapat kepercayaan dari rakyat. Karena inilah maka dari pihak V.O.C. memajukan usul kepada Sri Susuhunan Paku Buwono III, untuk menghentikan „peperangan saudara", dengan alasan bahwa peperangan yang telah terjadi mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat. Pikiran itu diterima baik, dan pada hari Kemis Kliwon tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, Perjanjian penghentian peperangan ditandatangani. Perjanjian itu disebut „Perjanjian Gianti" atau „Palihan Nagari", karena pelaksanaannya ada didesa Gianti, salah satu desa kecil dalam daerah Salatiga, dan isi Perjanjian nya itu yang terutama „membelah dua Negara Mataram", separo tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, dengan Ibukota di Surakarta, dan yang lain dikuasai oleh Sri Susuhunan Kebanaran, yang sejak itu berganti gelar Sultan Hamengku Buwono I, Senopati ing Alaga, 'Abdu'rahman, Sajidin Panata Gama, Kalifa'tulah I .
Menilik gelagatnya, sesungguhnya dalam „Palihan Negari" ini Gubernur Hartingh yang merupakan jiwa Perjanjian itu, mempunyai rencana lebih mendalam, yang bisa. memberi jalan lebih lancar dalam usahanya memperkembang, meluaskan pengaruh dan kekuasaan V.O.C. dalam daerah Mataram. Hal ini bisa dimengerti, karena Hartingh adalah satu-satunya kepercayaan Gubernur Jendral Mossel. la mengenal betul akan adat-istiadat Jawa , bahkan sebelum ia menjadi Gubernur di Semarang, ia pernah tinggal di Surakarta, melulu untuk belajar bahasa Jawa. Cara bekerjanya Hartingh tidak sebagai rekan yang digantinya, van Hohendorff. Kalau rekan itu lebih menyukai kekerasan, adalah Hartingh lebih suka mengambil jalan sebagai „djuru selamat".
Teori Hartingh yang terkenal, „tiap-tiap kerusakan dan kekalutan Mataram, merupakan keuntungan bagi V.O.C.".
Dalam pembagian Negara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapat bagian: separo dari Negara Agung, yaitu daerah-daerah sekeliling Negari (kedudukan Raja = Keraton), luasnya 53100 karja, separo dari daerah Manca Negara (daerah-daerah yang jauh dari Ibukota) 33950 karja, terdiri dari Madiun, Magetan, Caruban, separo Pacitan, Kertasana, Kalongbret, Ngrawa (sekarang: Tulungagung), Djapan (sekarang: Modjokerto, Djipang (sekarang: Bodjonegoro), Teras-karas (?), Selo, Warung dan Grobogan .Kalau kita memperhatikan peta bumi Negara Mataram yang berserta dalam buku ini, yang melukiskan pembagian daerah itu, kita dapat mengetahuinya bahwa Hohendorff dan Hartingh adalah orang yang sangat pandai melepaskan umpan, tidak saja jangan sampai Sri Susuhunan Paku Buwono dan Sri Sultan Hamengku Buwono bisa mendapat kesempatan saling bergandengan tangan, tetapi bahkan dengan caranya membagi Negara itu, perpisahan, kalau belum boleh dikata permusuhan, antara kedua Raja itu tentu makin menjadi menghebat dan makin meruncing. Sebab daerah Ngajogjakarta-Adiningrat yang menyelip disana-sini didalam daerah Surakarta, demikian juga sebaliknya, tentulah akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang timbul karena perbedaan cara pemerintahannya, cara hidupnya, dan caranya berpakaian .
Tidak jarang perselisihan itu memuncak demikian rupa, bahkan hingga menjadi perkara jiwa . Dan kalau sudah terjadi demikian, V.O.C. yang menempatkan diri sebagai „duta perdamaian", datang sama tengah, katanya, tetapi pada hakekatnya dia memainkan „pisaunya", demi kepentingan sendiri.
Perjanjian Gianti" bergelar Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing Alaga, Abdulrahman Sajidin Panata Gama, Kalifatulah, yang pertama, setelah sebulan sejak Palihan Nagari, pada hari Kemis Pon, tanggal 29 Djumadilawal 1680 (13 Maret 1755) mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa separo dari pada Negara Mataram yang dikuasainya itu, diberi nama Ngajogjakarta-Adiningrat, beribu kota di Ngajogjakarta.
Apakah sebabnya beliau memilih nama itu, sampai sekarang masih tinggal rahasia, tetapi sangat besar kemungkinannya berdasarkan dengan maksud „untuk menghormati tempat" yang bersedjarah, yaitu hutan Beringan, yang pada jaman marhum Sri Susuhunan Amangkurat Djawi menduduki tahta Mataram, telah merupakan kota kecil yang sangat indah dan ada Istana pesanggrahannya, yang dalam sejarah terkenal dengan nama Gardjitawati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura, sebagai Ibukota Mataram, nama pasanggrahan itu diganti Ngajogja, yang dimasa itu hanya dipergunakan tempat pemberhentian lajon-lajonnya (jenazah) para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri, hingga Pesanggrahan itu dipandangnya sebagai salah satu tempat suci, yang mendapat berkatnya para Luhur Mataram.
Tetapi mungkinkah hanya karena itu saja Sri Sultan telah memilih nama Negara dan tempat sebagai Ibukota? Pertanyaan ini juga masih merupakan persoalan, sebab pada umumnya, untuk menentukan tempat calon Ibukota dari sesuatu Negara, tentulah lebih dahulu diadakan penyelidikan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian tentang: letaknya tempat, hawa udaranya, gemuk dan tidaknya tanah, airnya, hubungannya dengan tempat dikanan kirinya yang bisa memberi pengaruh, bahaja-bahaja yang dihadapinya, terutama dari bahaya alam dan lain-lainnya, dari sudut lahir dan sudut batin. Didalam sejarah sama sekali tidak disebut-sebut tentang adanya komisi penyelidikan itu, kecuali beberapa legende (dongengan) yang sangat susah dapat dipercaya oleh pikiran pikiran dan ilmu pengetahuan dijaman sekarang. Diantara legende-legende itu, bila disesuaikan dengan pribadinya Sri Sultan Hamengku Buwono I, dapat memberi petundjuk-petunjuk atau dugaan yang bisa didjadikan alasan tentang sebab-sebabnya hutan Beringan dipilih olehnya, sebagai calon Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat.
Pada suatu hari ada seorang hamba tukang sabit (pakarik) mencari rum~raR dihutan Beringan, demikianlah salah satu legende yang sangat populair. la sangat haus, mencari air tidak bisa dapat. Setelah ia mencari dibeberapa tempat tidak berhasil. tahulah ia beberapa ekor burung kuntul terbang menudju kesalah satu tempat didalam hutan itu. Dengan demikian mendugalah ia bahwa tempat yang ditudju oleh burung-¬burung itu, tentu kolam atau danau, atau paling sedikit mata-air. Karenanya dengan cepatnya juga ia menudju ketempat itu. Ternyata dugaannya tidak salah. Tempat burung-burung mencari makan itu, adalah sebuah kolam yang sangat jernih airnya. Tetapi pada waktu ia akan meminum, terkejutlah ia, karena sekonyong-konyong ia berhadapan dengan seekor Naga besar.
„Hai, djanganlah kau melarikan diri, tukang sabit", kata Naga itu ketika melihat orang itu akan melarikan diri, „saja adalah Kiai Djaga, yang mbaureksa (mendjaga keselamatan) hutan ini. Sampaikanlah kepada Rajamu, bila beliau mencari tempat untuk Ibukota, hutan Beringan inilah yang terbaik", demikian pesan Naga kepada hamba tukang sabit itu.Dengan buru-buru hamba tukang sabit itu menghadap Sri Sultan, yang pada waktu itu masih ada di Pesanggrahan Pura-para, yang letaknya ada di sebelah Barat, hutan Beringan, untuk menyampaikan pesan Naga tersebut.Inilah sebabnya maka Sri Sultan Hamengku Buwono I lalu menitahkan untuk membabad hutan Beringan, sebagai calon Ibukota negara Ngajogjakarta-Adiningrat. Konon didongengkan lebih jauh, bahwa setelah Ibukota berdiri, dan sebagai pusat pandangan Sri Sultan pada saat-saat duduk dimahligai (mijos sinewaka),dititahkan mendirikan sebuah Tugu disebelah Utara Keraton, Kiai Djaga bertempat pada Tugu tersebut.Didalam legende ini menyelip dua nama yang meminta perhatian, Kiai Djaga dan Tugu. Perkataan djaga mempunyai arti defensi, persiapan untuk membela diri didalam segala kemungkinan: Lambang ini bila disesuaikan dengan pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, sangat tepat benar. Beliau adalah terkenal sebagai seorang Pahlawan Mataram yang sangat pandai membuat siasat perang. Dengan demikian, kalau beliau telah menunjuk hutan Beringan untuk calon Ibukota, tentulah telah dipelajari dalam-dalam, dan pusat perhatiannya ditudjukan kepada „pertahanan".Kemudian Kiai Djaga beralih, menempati Tugu, yaitu pusat pandangan Baginda pada saat-saat mijos sinewaka, demikian disebut-sebut dalam legende itu. Untuk mengupas ini, hendaknya harus mengetahui dahulu, apakah sebenarnya yang biasa dilukiskan dengan bangunan „tugu". Tugu adalah pendjilmaan dari „Lingga". Dalam faham Jawa , adalah lambang pertemuannya (kesatuan) antara „Purusha" dan „Paerity" lambang „pokok kekuatan alam". Dalam Pemerintahan (politis), yang menjadi kekuatan Negara adalah kesatuan antara yang memerintah dan rakyat, yang pada umumnya dalam istilah Jawa disebut „manunggale kazuula lan Gusti".Hal ini diketahui benar-benar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, karena penuhlah beliau mendapat pengalaman selama memimpin perlawanan-perlawanan, hanya kesatuan antara Pemimpin dan yang dipimpinlah yang menyebabkan beliau mendapat succes besar. Inilah sebabnya maka pada hakekatnya, benar juga Kiai Djaga bertempat di dalam Tugu, yang menjadi pusat pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam saat-saat Baginda duduk sinewaka. Karena dengan memandang Tugu, Baginda selalu ingat bahwa „hanya dengan persatuannya Pemimpin Negara dengan rakyat" saja yang dapat menjaga keselamatan Negara.Dengan demikian, mustahil sekali bila pilihan letaknya Ibukota Ngajogjalarta-Adiningrat itu tidak diselidiki dari sudut lahir dan batin lebih dahulu, hanya siapakah Panitia yang diperintahkan untuk melakukan penyelidikan itu, tidak disebut-sebut didalam sedjarah, kecuali pribadi Sri Sultan sendiri, bahkan disebut-sebut beliau sendiri pulalah yang menentukan bentuk dan ukurannya . Demikian juga tentang pembangunannya, karena sejak muda, pada waktu masih ada di Kartasura, beliau memang terkenal sebagai ahli bangunan.Sebagai sudah dikatakan pada bagian atas, bahwa beliau adalah seorang Pahlawan besar, yang sejak masih ada di Kartasura sudah diakui, baik oleh rakyat Mataram sendiri, maupun oleh musuh-musuh Mataram. Kenyataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau cs. sejak beliau meninggalkan Surakarta. Dengan demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang Kejadian-Kejadian yang menyebabkan Kartasura pernah jatuh ditangan musuh (Geger Pacina). Pada waktu itu, dengan serbuannya musuh yang kekuatannya tidak seberapa, hampir saja Sri Susuhunan Paku Buwono II tertangkap, pada waktu beliau dengan pengiringnya meloloskan diri dari dalam Keraton ke Ponorogo. Pengalaman yang sangat getir itu, disebabkan kekurangan-kekurangan dalam siasat militer, mungkin bentuk dan susunan Keraton Kartasura dimasa itu hanya dipandang dari sudut keindahan saja, kurang memperhatikan siasat pertahanan, hingga didalam menghadapi musuh,, jalan untuk rnengatur siasat, dan kalau perlu untuk mengosongkan Keraton, kurang mendapat perhatian.
Inilah yang mendorong Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk membuat Taman Sari, lengkap dengan sebuah tempat yang menondjol keatas, yang umumnya disebut Pulau Kenanga atau Cemeti, lengkap pula dengan jalan-jalan didalam tanah yang menembus keluar Kota, dan lengkap pula dengan pintu-pintu air, kalau ditutup bisa merubah keadaan Taman Sari menjadi serupa danau besar, hingga segala yang ada disekeliling Taman Sari menjadi musnah, tidak kelihatan sama sekali. Dalam keadaan demikian, kaiau perlu Keraton dapat dikosongkan dengan mengambil jalan didalam tanah. Lebih jauh untuk memperkuat, bahwa pemilihan calon Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat tidak dengan cara sembarangan, artinya tidak saja dipandang dari sudut pertahanan, tetapi juga dari sudut keadaan alam, bisa dibuktikan dengan adanya Kejadian-Kejadian yang akhir ini, berhubung dengan meletusnya gunung Merapi: Ahli-ahli gunung berapi mengatakan, bila lava-prop yang menutup mulut kawah Merapi jatuh kedalam, sangat dikawatirkan Merapi akan meletus dan lambungnya akan pecah belah. Kalau terjadi demikian, Kota Magelang, Bojolali, Salatiga akan terancam bahaya besar, tetapi orang-orang didalam kota Jogjakarta, boleh tidak usah ber kawatir, karena baik bandjir air atau ladu, maupun gloedwolk, tidak akan bisa menimpa Kota Jogjakarta, karena ia mempunyai perisai beberapa gunung kecil dan. beberapa djurang, yang sama melintang diantara Merapi dan Kota Jogjakarta.
Bagi mereka yang tidak atau kurang mengenal tentang sejarah lahirnya Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, sama beranggapan bahwa kemujuran dalam peristiwa kemungkinan meletusnya Merapi itu, hanya karena kebetulan saja,, tetapi kalau kita mengikuti sejarah-sejarah perlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono I, sepanjang itu beliau cs. naik turun pada puncak dan lereng-lereng gunung Sundoro (= Sindoro-Sundari), Sumbing dan Merapi, maka tidak bisa dibantah lagi bahwa beliau sangat mengenal akan alam sekeliling pegunungan-pegunungan tersebut diatas, dan besar kemungkinannya pengetahuan ini juga merupakan faktor penting dalam menentukan tempat yang akan didjadikan Ibukota.Perjanjian Gianti" telah terjadi pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, dan menurut catatan „peringatan peringatan Keraton Surakarta", Palihan Nagari diperingati dengan candra sengkala „Tunggal pangesti rasaning djanmi" = 1681, yaitu pelaksanaannya membagi Negara Mataram menjadi dua.,
ejak itulah Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk mulai mengerjakan bangunan Ibukota, dimulai dari Keraton, sebagai pusat dan permulaan bangunannya, dibawah pimpinan beliau sendiri. Sementara itu, beliau bersama dengan pengikut-pengikutnya bertempat (masanggrahan) di Istana (pesanggrahan) Gamping, letaknya lk. 5 km. disebelah Barat Ibukota yang tengah dikerjakan orang.
Istana (pesanggrahan) itupun mempunyai sifat-sifat pertahanan, karena letaknya disamping (dekat) sebuah gunung gamping, yang memberi perlindungan kuat kepada penghuni Istana. Sangat sayang sekali bahwa gunung gamping yang bersejarah itu, sekarang sudah hampir habis sama sekali, karena dari sedikit telah digempur oleh rakyat, untuk bahan kapur, kini hanya tinggal sedikit saja yang masih bisa diselamatkan. Letaknya gunung gamping itu, ada disebelah Timur Laut Istana NgambarKetawang, demikian nama pesanggrahan itu. Menurut keterangan- keterangan dari beberapa orang itu yang bertempat tinggal dikanan kiri bekas Istana pesanggrahan itu, didalam gunung gamping yang membujur ke Timur itu, terdapat lubang semacam gua, membujur ke-Timur juga. Gua itu bukannya kodrat alam, tetapi dengani melihat bekas-bekas yang ada didalamnya, memang sengaya dibuatnya, sangat mirip dengan lubang perlindungan, dan sangat besar kemungkinannya dimasa itu dipergunakan sebagai benteng pertahanan, karena pintu gua itu yang sebelah Barat, mernpunyai hubungan langsung dengan Istana Ngambar Ketawang.
Bekas-bekas tembok Istana itu sekarang hanya merupakan kumpulan batu-batu merah yang berantakan, hanya sebagian kecil saja yang masih berdiri dan bisa dilihat. Sungguhpun demikian, masih juga kita dapat membajangkan tentang bangun dan bentuknya, luasnya lk. 80 x 150 meter, menghadap ke Timur. Pada batas pagar tembok sebelah selatan, masih nampak tegas sebuah gapura kecil, yang menghubungkan Istana dengan kandang (gedogan) kuda tunggang dan kuda tarik. Di sebelah Selatan sedikit dari bekas kandang-kandang kuda itu, berdiri sebuah gedung kecil, yang menurut penyelidikan, dahulu dipergunakan gedung kereta. Bekas gedung kereta itu sekarang ditempati oleh salah seorang penduduk, Mertowihardjo namanya. Menurut pengakuannya sendiri, ia mendapat waris rumah itu dari nenek mojangnya, yang berpesan dengan sungguh-sungguh, berpantang besar untuk merusak atau merubah bPntuk-bentuk dan tembok-temboknya yang asal.
Benar juga, tembok-tembok tua yang tebal, meskipun sudah ditambah kanan kirinya dengan tembok-tembok bangunan baru (tipis), masih kelihatan tegas, sebagai lingkaran segi empat sedikit memandjang, yang menggambarkan bekas gedung kereta.
Didalam lingkungan bekas tembok luar (ringmuur), lebih tegas: bekas-bekas gedung Pesanggrahan itu, kini sudah ditempati penduduk, meskipun pada umumnya mereka tidak merusak bekas-bekas yang masih nampak dikanan kiri rumahnya.
Kalau kita sudi memerlukan memeriksa bekas Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, tentulah timbul pertanyaan, adakah Pesanggrahan itu baru dibaragun setelah „Perjanjian Gianti", perlu untuk Istana sementara, selama keraton masih didalam taraf pembangunan?
Timbulnya pertanyaan demikian memang dapat dimengerti, sebab menilik bentuk-bentuk yang sampai sekarang masih kelihatan bekas-bekasnya, bangunan Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, kalau belum boleh dikata sebuah bangunan lux, sedikitnya harus diakui „bukan bangunan kecil-kecilan". Dengan demikian pembangunan Istana itu`, tentu tidak akan bisa diselesaikan didalam waktu yang singkat.
Karenanya kita bisa menarik kesimpulan, bahwa Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, sebelum „Perjanjian Gianti" mungkin sudah ada. Dugaan ini dikuatkan dengan kata-kata orang yang sudah lewat umur, bahwa Pesanggrahan itu sebelum bernama Ngambar Ketawang, dikenal orang dengan nama Purapara yang artinya adalah gedung untuk tempat pada waktu orang tengah didalam bepergian (papara): Bila keterangan itu kita hubungkan dengan sejarah hutan Beringan, yang berasal daripada kata-kata „pabrengan", yaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada waktu orang ramai-ramai berburu hewan dihutan (pada jaman Mataram), maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa besar kemungkinannya Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu sejak jaman Mataram sudah ada, gunanya hanya untuk pesanggrahan pada waktu Baginda dengan pengiringnya sedang berburu (mbedag-pikat) hewan ada di hutan Beringan.
Dalam pembangunan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, bekas-bekas tempat perburuan hewan itu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I tidak dirusak semua, sebagian kecil masih berwudjud hutan, letaknya ada dibelakang Keraton, yang selanjutnya diberi nama Krapjak. Dalam hutan kecil itu masih hidup kidjang-kidjang, rusa-rusa dan lain-lain hewan hutan. Pada masa-masa yang ditentukan, Sri Sultan Hamengku Buwono-pun berkenan berburu juga disitu.
Berapa lamanya Sri Sultan Hamengku Buwono I beristana (masanggrahan) ada di Ngambar Ketawang sambil mengawasi pembangunan Keraton Jogjakarta, dapat dihitung menurut catatan-catatan yang terdapat pada Kepudjanggaan Keraton Ngajogjakarta :
Sebagai sudah dikatakan diatas „Perjanjian Gianti" terjadi pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, mulai pada hari Kemis-pon tanggal 3 Sura Wawu 1681, atau 9 Oktober 1755, masanggrahan ada di Ngambar Ketawang , dan kira-kira setahun kemudian, setelah sebagian dari bangunan-bangunan didalam Keraton selesai, Sri Sultan berkenan memasuki Keraton pada hari Kemis-paing tanggal 13 Sura-Djimakir 1682 atau 7 Oktober 1756. Untuk sementara waktu, Baginda menempati Gedung Sedahan. Kepindahan Baginda itu, diperingati dengan lukisan dua ekor Naga yang ekornya saling melilit, ditempatkan diatas „Banon renteng-kelir" pada Gapura belakang. Lukisan itu biasa disebut dalam istilah Jawa „Candra sengkala memet", artinya: angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata- kata yang berwujud gambaran. Gambaran itu berbunyi „Dwi naga rasa tunggal=1682.
Pokok dari Keraton sendiri luasnya 4.000 m2, dikelilingnya dengan beberapa gedung, yang mempunyai nama berbeda-beda, menurut kepentingannya dimasa lampau. (Lihatlah peta Keraton pada muka). Tetapi atas kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sejak kemerdekaan dapat kita rebut kembali dari tangan orang asing, maka mulai dari Pagelaran sampai pada Bangsal Witana dan kanan kirinya,, dipergunakan untuk kepentingan Universitas Negeri Gadjah Mada, Perguruan tinggi kebangsaan yang pertama kali didirikan sejak lahirnya Republik, Indonesia. Keraton diapit oleh dua alun-alun, di sebelah utara dan di sebelah selatan. yang pertama biasa disebut ,,alun-alun-Lor", dan yang belakangan disebut „alun-alun Kidul" atau „alun-alun Pengkeran".
Di jaman yang lampau, kedua alun-alun itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Negara, karena disitulah tempat yang akan menentukan kekuatan lahir batinnya alat kekuasaan Negara, sebab pada tempat itulah para Pradjurit dan para Prewira sama berlatih untuk mempergunakan senjata dalam pertempuran seorang melawan seorang, menyerbu barisan dengan berkuda, dan lain-lain cara lagi yang berkenaan dengan kepentingan peperangan dimasa itu.
Sekali setahun, dialun-alun diadakan keramaian „rampogan", yaitu „adjar kenal" dengan harimau buas, dengan mempergunakan senjata tajam atau tongkat. „Rampogan" merupakan keramaian umum, sebab dalam saat-saat ada ;,rampogan" penuhlah alun-alun dengan rakyat jelata, yang sama datang dari desa-desa yang jauh. Pada hakekatnya „rampogan" bukannya hanya berarti keramaian atau hiburan saja, tetapi untuk berlatih ketabahan, keberanian dan kecakapan melawan musuh dan membela diri. Dengan demikian „rampogan" merupakan kelandjutan dari kebiasaan „berburu" (mbedag-pikat) dihutan-hutan pada jaman itu.
R.M. Djajadipoera arsitek Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Pada tengah-tengah alun-alun Utara, ada sepasang pohon beringin, masing¬masing berkurung. Inilah sebabnya biasa disebut orang „waringin kurung". yang sebatang bernama „Kiai Dewa-daru", dan jarig lain „Kiai Djaja-daru" atau „Djana-daru". Sebagai halnya filsafat "Tugu" dalam arti Negara, kedua batang pohon beringin inipun merupakan lambang pertemuan antara hidupnya Dewa dan Umat manusia (manunggale Kawula lan Gusti).
Kalau kita berdiri di Bangsal Witana (kini menjadi sebagian dari tempat kuliah Universitas Negeri Gadjah Mada), memandang 180 de Rajat ke Utara, sebagai caranya Sri Sultan Hamengku Buwono pada jaman yang lampau dalam saat-saat duduk sinewaka, mata kita akan bertemu dengan 3 titik, pertama sepasang beringin: Kiai Dewa-daru dan Kiai Djana-Daru, kemudian ditengah-tengahnya kedua (antara Desa dan manusia) titik itu, mata kita bertemu lagi dengan titik lain yang jauh letaknya, yaitu Tugu, lambang pertemuan antara „Purusha" dan jacrity" (positief dan negatief); pokok kekuatan alam. Dengan memusatkan pandangan dan tekad pada titik-titik yang tiga itu, dapatlah kita meraba tentang sebab-sebabnya mengapa Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan sengadja memerlukan menciptakan filsafat Tugu dan beringin kurung sepasang.
Lain dari pada itu, dijaman yang lampau, sepasang beringin kurung itu juga merupakan tempat rakyat yang ingin „hogerberoep" kepada Baginda dalam sesuatu hal yang dirasanya tidak adil, baik berkenaan dengan keputusan Pradata (Hakim), maupun berkenaan dengan perlakuan-perlakuan pihak atasan kepadanya.
Orang yang menuntut keadilan yang tertinggi (dari Baginda sendiri) itu, lebih dahulu berpakaian serba putih, berkudung putih pula, duduk diantara kedua batang beringin kurung itu, Sedemikian cepat diketahui oleh Baginda atau tokoh-tokoh Agung akan halnya orang yang pepe, demikian nama orang meminta keadilannya Baginda dengan mempergunakan cara itu, seketika itu juga didjemput dan terus dihadapkan kepada Baginda untuk mengadukan sendiri kekecewaan hatinya. Dalam waktu itu juga Dewan Pengadilan Agung, yang dihadiri oleh Baginda bersidang, untuk memberikan putusan. Bagaimana juga sifat keputusan itu, diterima juga dengan kepuasan had oleh orang yang bersangkutan itu.
Dengan berlakunya cara ber-“pepe" ini, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan „Hak azazi" dari tiap-tiap manusia, tidak peduli ia dari lapisan apa juga, pada jaman yang lampau telah diakui juga, hingga bukan merupakan bararg kelahiran baru, bukan pula barang import.
Disebelah Barat dari Alun-alun Utara, berdirilah sebuah Masjid Besar, yang didirikan atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono, bersamaan dengan bangunan Ibu kota Ngajogjakarta-Adiningrat. Masjid ini bersusun tiga menurut stijl Masjid Demak, Masjid yang pertama kali didirikan di Indonesia, setelah jatuhnya Madjapait. Bukan hanya bentuknya rumah saja, tetapi pclatarannyapun mengikuti Demak, diantaranya termasuk tentang adanya blumbang (kubangan) yang selalu penuh dengan air-hidup (air yang mengalir) sebagai lambang kesucian.
Selain itu berbeda dengan Masjid-masjid di seluruh Indonesia, kecuali Masjid Surakarta, pada kanan kiri pelataran sebelah muka, ada sepasang bangsal kecil, yang melulu disediakan untuk tempat gamelan „Kyai-Sekati" dan „Nyai-Sekati", pada waktu merajakan hari raja Grebeg Mulud, Sawal dan Besar. Pada saat-saat demikian sepasang gamelan pusaka dari jaman Demak itu ditabuhnya ganti-berganti. .
Dalam peringatan yang kita dapati dari pihak Kepudjanggan, Pengulu pertama yang disera,hi mengurus Masjid itu, adalah Kiai Pengulu Sech Abodin.
Sampai sekarang kita masih bisa melihat beberapa bangsal kecil-kecil dengan bentuk „joglo" di sekeliling tepi alun-alun, yang sekarang dipergunakan untuk berbagai kepentingan Negara. Dijaman yang lampau, gedung kecil-kecil itu disebut „Pakapalan", gunanya untuk tempat menghadapnya para hamba-hamba Kasultanan, mulai dari Pepatih-Dalem (Rijksbestuurder) dan para Bupati yang telah diper-kenankan memakai upacara: rontek, daludag, umbul-umbul dan songsong agung (semuanya upacara kebesaran) sampai kepada Panewu Mantri.
Kalau bangsal-bangsal itu disebut „pakapalan", adalah karena pada tempat-tempat itu dipergunakan untuk mempersiapkan kuda-kuda tunggang dari Pepatih-Dalem, para Bupati dan para Panewu Mantri, bila ada upacara kebesaran, atau dalam saat-saat mereka akan berangkat menghadapi musuh .
Kalau alun-alun Utara letaknya ada di sebelah luar Baluwarti (ringmuur) Keraton, adalah alun-alun Selatan, yang merupakan imbangan alun-alun Utara, ada didalam Baluwarti Keraton. Pada alun-alun ini kita melihat juga sepasang „Waringin kurung". Keadaan sekelilingnya jauh berbeda daripada alun-alun Utara, bahkan keadaan sehari-harinyapun sunyi saja. Ini bisa dimengerti, sebab ditempat itu hampir tidak ada hal-hal yang menarik hati. Dan kalau ada kunjungan-kunjungan dari sana-sini, melulu hanya akan melihat gayah, yang dahulu kandangnya ada di tepi alun-alun itu, sebelah Barat Daja.
Sebagai imbangan Bangsal Sitinggil yang ada dibagian muka dari Keraton, disebelah utara alun-alun Pengkeran inipun nampak bangunan Bangsal Sitinggil. Kalau Bangsal Sitinggil muka (Utara) untuk kepentingan Sinewaka, adalah Sitinggil Selatan hanya untuk keperluan Sri Sultan dalam saat-saat memeriksa latihan-latihannya para Perwira dan atau anak buahnya, karena alun-alun Selatan itu yang terutama melulu untuk keperluan demikian. Dalam saat-saat demikian, tempo-tempo Sri Sultan berkenan juga memeriksanya dengan berkuda.
Pada waktu yang akhir-akhir ini, sebagai salah satu', usaha supaya masyarakat tidak hanya bergolong-golongan ada dibagian utara saja, Kotapraja Jogjakarta telah menyingsingkan lengan badjunya, untuk mengisi kekosongan dan kesepian alun-alun Selatan dengan bcrbagai macam pertundjukan yang menarik, meskipun tidak setiap hari. Dalam usaha kearah itu, bekas kandang gadjah telah dibangun kembali, didjadikan bangsal pertundjukan, sedang Bangsal Sitinggil diperluas dan dirubah demikian rupa, untuk balai pertemuan atau balai pertundjukan.
Sebagai diatas sudah dikatakan, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah seorang bangsawan agung yang dalam dadanya menyala-nyala semangat „Prezeira" (militairisme), karenanya dalam segala kepentingan hidupnya, selalu dititik-beratkan kepada persiapan-persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan, demikian juga dengan halnya Keraton Ngajogjakarta-Adiningrat. Tembok yang mengelilingi Keraton (ringmuur) harus diakui bukannya pagar tembok yang sewadjarnya, karena meskipun tingginya hanya 3,5 meter, tetapi tebalnya 5 meter. Tidak hanya demikian saja, ujungnya berbentuk koepel penjagaan, hingga tidak salah lagi bahwa sebetulnya letaknya Keraton ada didalam benteng, dan justru demikianlah orang mengatakannya.
Belum cukup demikian saja, tetapi disamping pagar tembok yang sangat „seram" itu, masih pula dilengkapi dengan jagang (anak sungai) yang dalam juga, hingga sendirinya mejakinkan kita, bahwa bul:an keindahan yang menjadi pusat keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam pembangunan Keraton itu, tetapi pokoknya berpusat kepada bangunan-bangunan pertahanan.
Benteng Keraton itu mempunyai Gapura 5. Baik bentuknya maupun rudji-rudji besi (dimasa yang lampau) yang merupakan daun pintunya, bukan main kokohnya. Pada jaman-jaman yang lampau, gapura-gapura itu pada siang dan malam hari didjaga dengan tertib sekali, hingga seekor tikuspun tidak akan bisa melalui gapura itu dengan tidak diketahuinya.
Plengkung, demikian orang menamakan gapura-gapura itu, mungkin karena bentuknya pada bagian atas hampir separo bulat (mlengkung), dua menghadap ke utara, yang sebelah barat didalam Kampung Ngasem, terkenal dengan nama Djagasura, yang sebelah timur, didalam Kampung Judonegaran, disebut orang Tarunasura. yang menghadap ke barat, didalam Kampung Tamansari, bernama Djagabaja, jang Di sebelah timur, dalam Kampung Surjomataraman, disebut Madyasura dan yang disebelah selatan, bernama Nirbaja.
BERSAMA-SAMA dengan perkembangan pembangunan Keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan juga untuk membangun kampung-kampung di sekeliling Baluwarti Keraton, dimulaikan dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asramanya para anak-buah angkatan perang dan para Prewira-Prewiranya, sungguhpun pada hakekatnya, dengan mengingati sifat pribadinya Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan mengingati pula suasana dimasa itu, barangkali beliau lebih menginginkan mereka itu semua bertempat tinggal didalam Baluwarti Keraton. Tetapi bagaimana juga luasnya Benteng Keraton itu, tidak juga dapat mencukupinya. Inilah sebabnya hanya mereka yang terpilih sangat penting sekali saja, jang, bertempat tinggal didalam Benteng Keraton.
Dengan demikian, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kampung-kampung didalam Kota Jogjakarta yang tertua, adalah kampung-kampung yang namanya mem¬punyai hubungan langsung dengan Resimen-Resimen atau bagian-bagiannya, atau kampung-kampung yang namanya merupakan tempati dari ahli-ahli tehnik, karena cara memberikan nama pada kampung-kampung itu, menurut nama-namanya pembesar atau golongan anak buah angkatan perang, atau golongan-golongan ahli tehnik yang menernpatinya semula. Lebih tegas umpamanya: kampung Bintaran; karena yang semula menempatinya adalah Pangeran Bintaran, kampung Surakarsan, karena semula menjadi tempat Pradjurit Surakarsa, kampung Notop Rajan, karena semula ditempati Pangeran Notoprodjo, karnpung Dagen, karena semula ditempati oleh golongan Undagi (Tukang-tukang kayu) Kampung Kumendaman, karena ditempati oleh Kornandan angkatan perang, kampung Wirogunan, karena semula ditempati oleh Bupati Wiroguno, kampung Wirobrajan, karena semula ditempati oleh golongan Pradjurit Wirobrodjo, dan lain-lainnya.
Salah satu hal yang tidak bisa dilupakan, bahwa dengan memperhatikan akan sikap dan sifat-sifat kepribadian Sri Sultan Hamengku Buwono I, terutama dalam pembangunan-pembangunan Ibu-kota Ngajogjakarta-Adiningrat, yang semuanya berdasarkan dengan kepentingan pertahanan itu, pihak V.O.C. pun tidak tinggal memeluk tangan.
Dengan caranya yang sangat licin, berdasarkan „kesediaannya untuk memberikan bantuan didalam segala kemungkinan". demikian mengakunya, „yang bisa mengganggu dan merugikan. Ngajojakarta-Adiningrat", maka ia bisa mendapat perkenan untuk mendirikan benteng, sebagai tempat soldadu dan pertahanannya.
Demikianlah benteng Vredesburgh berdiri, yang pada hakekatnya untuk persiapan-persiapan, bila Sri Sultan Hamengku Buwono memalingkan muka. Bukan hanya didalam Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat saja olehnya didirikan benteng pertahanan V.O.C., tetapi juga hampir bersamaan dengan itu, didalam Kota Surakartapun didirikan juga sebuah benteng, juga untuk memberikan bantuan, bila Sri Susuhunan Paku Buwono III mendapat kesulitan, demikian alasannya.
Belum cukup demikian saja, tetapi karena V.O.C. sangat kawatir akan terdjadinya persatuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Sri Susuhunan Paku Buwono III, yang tentu akan membawa akibat membahajakan kedudukan V.O.C., atau setidak-tidaknya tentu akan menyulitkan langkah-langkahnya memperluas pengaruh dan ke¬kuasaannya, maka V.O.C.pun lalu mendirikan juga benteng-benteng di Purworedjo, Magelang, Ambarawa, Ungaran dan Ngawi. Dengan demikian, tidak saja Surakarta dan Ngajogjakarta telah didjaga dari dalam, tetapi juga telah dikepung dengan benteng-benteng yang kuat.
Menurut dokumen-dokumen yang terdapat didalam,Kapudjanggan Keraton Ngajogjakarta, batas-batas Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat yang semula:
a. yang sebelah Utara: kampung Djetis sampai kampung Sagan dan Samirana.
b. yang sebelah Timur: dari kampung Samirana ke kampung Lowano.
c. yang sebelah Selatan: mulai dari kampung Lowano sampai kekampung Bugisan, dan
d. yang sebelah Barat: Dari kampung Bugisan sampai kekampung Tegalredjo.
Dengan demikian, Ibukota Ngajogjakarta itu memanjang ke-Utara, sungai Winanga dan Code yang mengapit Keraton, kedua-duanya menembus Ibukota dari jurusan Utara ke Selatan. Dan justru karena inilah, maka bagaimana juga hudjan lebat turun didalam Kota Jogjakarta, dalam beberapa saat saja musnahlah airnya karena kedua sungai itu, mempunyai tenaga yang cukup kuat untuk pembuangan air dari seluruh kota.
Dibawah pimpinan orang kuat lahir batinnya, sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, bangunan-bangunan baik didalam Keraton sendiri, maupun didalam Ibukota Ngajogjakarta berjalan sangat lancar sekali. Dalam waktu yang tidak lama, Ibukota Ngajogjakarta telah menjadi Ibukota yang hidup dalam arti yang sangat luas. Setapak demi setapak melangkah kearah kemajuan. Orang dari sana-sini datang bergiliran dengan membawa bermacam-macam barang-barang dagangan keperluan hidup sehari-hari. Diantara pedagang-pedagang itu, banyak pula yang terus bertempat tinggal di Ibukota yang baru lahir itu, diantaranya termasuk orang-orang Tionghoa. Menurut dokumen-dokumen yang bisa diketemukan, kampung-kampung yang diperkenankan untuk tempat tinggal orang-orang kulit putih, mula-mula Lodji kecil, kemudian meluas ke jalan Secodiningratan (dahulu:Kampemenstraat), kemudian meluas lagi ke kampung Bintaran dan Djetis, akhirnya ke Kotabaru. Sedang bagi orang-orang Arab adalah kampung Sajidan, dan bagi orang Tionghoa mula-mula di kampung Kranggan, kemudian lambat-laun meluas kesana-sini, terutama ketempat-tempat yang mempunyai harapan baik dalam perdagangan.Mangkatnya Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tangga1 24 Maret 1792 (dimakamkan di Imogiri) keadaan Negeri perlahan-lahan mengalami kemunduran, terutama didalam lapangan politik.
Dalam suasana keruh itu, lahirlah Pemerintahan Kadipaten Pakualaman, pada tanggal 13 Maret 1813 diperintahkan oleh B.P.Notokusumo, putera Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III diangkat menjadi Pangeran Merdeka , dengan gelar Kg. Gusti Pangeran Adipati Pakualam I .
Dengan lahirnya Pemerintahan Kadipaten Pakualaman ini, maka Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat menjadi berubah sedikit, karena meskipun daerah Kadipaten Pakualaman ada di Adikarta, yang terkenal juga dengan nama Karang kemuning, tetapi Ibukota Pakualaman ada didalam Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, menempati sebagian kecil bilangan sebelah timur sungai Code, terdiri dari kampung Notokusuman, yaitu kampung kediaman Sri Pakualam I selagi masih menjadi Pangeran Midji. kampung itu kemudian diberi berpagar keliling (ringmuur), hingga merupakan henteng juga . .
Sebagai juga gapura-gapura yang masuk kedalam Benteng Keraton, pada jaman jaug lampau, batas yang masuk ke Pura Pakualaman, demikian nama Istananya, juga dilengkapi dengan gapura besar bertempat didekat gedung bioscope „Luxor" (sekarang). Belakangan karena dipandang tidak membawa manfaat, malahan sebaliknya, dapat menimbulkan perpisahan, maka gapura itu dihilangkan. Tidak itu saja, tetapi lambat laun beberapa Jawa tan antara Pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, digabungkan djadi satu.
Dan, untuk menghapuskan segala bekas-bekas dan benih-benih yang dahulu disebar oleh V.O.C. terutama dijamannya Raffles, maka dengan keichlasannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, segala yang bersifat pemisahan itu dihapuskan sama sekali. Lebih tegas, kedua Pemerintahan itu kini menjadi satu lagi, demikian juga dengan pemisahan daerah dan Ibukotanya.
Susunan pemerintahan mulai berdirinya Ngajogjakarta Hadiningrat pada tahun 1755 (Perdamaian Gianti) dan dipimpin olch S.P. Sultan Hamengku Buwono ke I adalah seperti bcrikut:
I. Najoko urusan dalam:
1.Kanajakan Keparak Kiwo dan
2. Kanajakan Keparak Tengen, mengurus soal-soal. yayasan dan pekerdjaan umum.
3. Kanajakan Gcdong Kiwa dan
4. Kanajakan Gedong Tengen, mengurus soal-soal hasil dan keuangan.
II. Najoko urusan Guar:
1. Kanajakan Siti sewu, mcngurus soal-soal tanah dan praja. .
2. Kanajakan Panumping dan
3. Kanajakan Numbakanyar, mengurus soal-soal pcrtahanan.
4. Kanajakan Bumijo, mengurus soal-soal seperti Siti Sewu.
Kedclapan Najoko ini mewujudkan Dewan Menteri, diketuai olch Pepatih Dalem, yang memegang pucuk pimpinan didalam Negeri. Susunan seperti diatas diadakan sejak tahun 1755, ketika kerajaan Mataram dibagi 2 menurut Perjanjian Gianti. Pada waktu itu segala sesuatunya juga dibagi 2 seperti keadaannya daerah; pegawai, pusaka Keraton dsb.
Kanajakan pada waktu itu juga dibagi 2, Solo mendapat 4 Najoko dan Jogja juga 4 Najoko. Kemudian jumlah Najoko dan pegawai lain-lainnya ditambah scndiri oleh Kerajaan masing-masing hingga lengkap.
Sifat pemerintahan adalah pemerintahan Militer. Masing-masing Najoko men¬jadi panglima, mempunyai tentara sendiri, dan apabila perlu masing-masing Najoko pergi ke medan pertempuran.
Pegawai Keraton yang sekarang masih sowan caos (bermalam di Keraton) dahulu dimaksud menjaga keamanan negeri.
Lama-lama menurut perkembangan zaman, maka para Najoko lalu hanya memegang pemerintahan sipil, dan selanjutnya staf Kanajakan diperkecil hingga tinggal 40 orang pegawai terdiri dari Bupati Kliwon, Panewu Sepuh perintah, Panewu, Panewu Gebajan, Mantri, Carik, Gebajan dsb.
Najoko urusan dalam mempunyai daerah Kota Jogjakarta dan Keraton, sedang Najoko urusan luar menjalankan pemerintahan diluar kota dan mereka.dibantu oleh Bupati Tamping .
Pada zaman S.P. Sultan Hamengku Buwono ke VI diadakan pemerintahan Praja. Pembagian daerah diatur sedemikian rupa, sehingga seorang Bupati membawah¬kan satu Distrik dan wakilnya Bupati diberi nama Pantwu.
Untuk Kota lalu diadakan Bupati Polisi (antara 1908), scbagai Bupati Kota pertama diangkat R.T.Sosronegoro. Waktu itu daerah Kota mcliputi kampung Wiro¬brajan, Dongkelan, Krapjak, Bugisan, Tungkak, Nyutran, Klitrcn, Gondokusuman, dan Blunyah.
Pemerintahan didalam kampung dijalan kan olclt Carik Kampung atau Panekar. Buat 4 Kanajakan urusan dalam diadakan 4 Panekar. Pada zaman S.P. Sultan Hamengku Buwono ke VII diadakan reorganisasi didalam pemerintahan dengan diadakannya jabatan Bupati Pamong Praja, sedang jabatan Pandji diganti Wedono.
ADA waktu berdirinya Kasultanan Jogjakarta dalam tahun Masehi 1755 pengadilan yang berlaku di Jogjakarta ialah:
1. Pengadilan Pradata.
2. Pengadilan Surambi, dan
3. Pengadilan Bale-Mangu.
Pengadilan Pradata mengadili perkara-perkara pidana dan perkara-perkara perdata. Pengadilan Surambi untuk perkara-perkara pidana dan hukum perkawinan dan perceraian serta perkara-perkara warisan, sedang Bale-Mangu adalah pengadilan untuk perkara-perkara pidana dan „administratief" dan kemudian juga pengadilan agraria untuk perkara-perkara antara „patuh" dan para bekelnya serta antara prijaji tinggi dan prijaji rendah. Tempat sidang Pengadilan Pradata itu di „pekapalan" atau gedung paseban di alun-alun utara sebelah barat, pintu gerbang Masjid Besar; Pengadilan Surambi di Surambi Masjid tersebut, sedang Pengadilan Bale-Mangu di bangsal „Bale-Mangu" di Kepatihan.
Pada tahun 1818 terjadi perobahan mengenai kekuasaan mengadili pada ketiga pengadilan tersebut diatas, karena pada tahun 1818 di Jogjakarta diadakan pengadilan barn (President's Court) yakni pengadilan dalam tingkatan pertama („in eersten aanleg") untuk perkara pidana „campuran" „voor criminele gemengde zaken", yang terdakwanya terdiri atas kawula Gubermen; lagi pula sebagai pengadilan yang memeriksa dalam instansi kedua (peradilan bandingan) untuk segala perkara-perkara campuran lainnya.
Pengadilan tersebut tersusun atas: Residen sebagai Ketua, Pepatih-Dalem (Rijksbestuurder) dengan 4 Bupati Najaka sebagai anggauta, dan jurubahasa sebagai panitera (griffier), merangkap sebagai Penuntut Umum (Openbaar Ministerie).
Pengadilan Surambi tersebut diatas juga bernama Pengadilan Hukum, tersusun atas Pengulu sebagai Ketua dan 4 anggauta bernama „Patok Negara", sedang Pengulu dinamakan „Pengulu Hakim". Pada permulaan susunan pengadilan Surambi itu terdiri atas 5 orang, kemudian ditambah dengan Ketib-ketib sebagai pembantu (bijzitters) yang akhirnya menjadi anggauta pula, sehingga susunan itu terdiri atas 10 anggauta. Kitab-kitab yang dipakainya sebagai undang-undang ialah Kitab Moharrar, Kitab Mahalli, Kitab Tuphah, Patakulmungin, dan Patakulwahab.
Pengadilan Perdata, tersusun atas Djaksa sebagai -Ketua, dan sebagai Anggauta adalah Mantri-mantri Djaksa dari tiap-tiap „golongan" ja'ni: dari golongan Kepatihan, 1 dari golongan Kadipaten, 1 dari golongan Pangulon, 1 dari. golongan Pradjurit, dan 1 dari tiap-tiap golongan Kanajakan, jumlah semuanya ada 1+ 4 + 8 = 13 Anggauta. Kira-kira pada tahun 1831 diadakan golongan Djaksa, dikepalai oleh seorang ;Wedana Djaksa" yang diberi „gelar" atau „sesebutan" Kjahi Tumenggung, sedang sebelumnya hanya bergelar „Ngabehi". Kitab-kitab Undang-undang yang dipakainya ialah: 1 Nawala Pradata, 2.Angger Ageng, 3 .Angger -Arubiru dan 4 Angger Sepuluh. Pengadilan Bale-Mangu; tersusun atas Pepatih-dalem, Bupati Patih Kahadi¬paten (sebagai Wakil dari „Kroonprins"), dan para Bupati Najaka sendiri, sehingga Pengadilan Bale-Mangu terjadi atas sepuluh Pegawai Tinggi, yang masing-masing mempunyai seorang Mantri untuk memeriksa didesa-desa, 10 orang Mantri ini tidak hanya bertugas memberikan laporan, tetapi juga bertugas menerima perintah-perintah dan diharuskan pula menghadliri sidang-sidang Bale-Mangu, sekalipun tidak rrtempunyai hak suara.
Berhubung dengan lahirnya „Pranatan Patuh", (suatu peraturan dilapangan agraria sebagai akibat dari diundangkannya dalam staatsblad 1857 No. 116 sebuah „Landhuur-Reglement") maka Bale-Mangu itu mendapat kedudukan lebih penting, dan merupakan betul-betul suatu „Pengadilan Perkara-perkara desa-desa. „Landelijke Rechtsbank" dengan Kitabnya „Hukum Agraria Angger Sepuluh". Sri Sultan ke V yang masih muda, dengan Gubermen, maka dalam tahun 1831, sehabis Perang Dipo¬negoro diadakan perubahan besar mengenai kepolisian dan Pengadilan.
Dengan Resolusi tgl.11 Juni 1831 No.29 didirikan di Jogjakarta suatu Pengadilan untuk Perkara-perkara Pidana-pidana „Rechtsbank voor Criminele Zaken" yang diserahi pengadilan pidana, yang dulu menjadi tugas Surambi dan Pradata. Pengadilan untuk Perkara-perkara Pidana itu tersusun atas: Residen sebagai Ketua, Pepatih Dalem dan 1 a 2 orang Bupati Najaka sebagai anggauta, Sekretaris Karesidenan sebagai panitera (griffier) Wadana Djaksa sebagai Penuntut Umum, dan Kjahi Penghulu sebagai Adviseur dalam perkara-perkara yang terdakwanya dapat di jatuh i hukuman mati (hals-zaken). Mungkin juga pada pengadilan ini mengadili perkara-perkara pidana yang agak kecil dengan 1 a 2 orang anggauta pembantu dari 4 Patok Negara.
Dengan Resolusi tgl. 11 Juni 1831 No. 30, yang baru diundangkan dalam Stbl. 1876 No. 140, maka di Jogjakarta dan di Surakarta diadakan Raad Karesidenan („Residentie-raad"), tersusun atas Residen sebagai Ketua, 2 atau 3 orang Pegawai Gubermen sebagai anggauta, dan Sekretaris Karesidenan sebagai Panitera (griffier) merangkap Penuntut Umum (Openbaar Ministerie), „Residentieraad" ini wenang memutuskan semua perkara-perkara perdata dan pidana seperti Pengadilan-pengadilan Landraad di Tanah Jawa, dan juga bertindak sebagai Pengadilan Berkeliling (rechtsbank van ommegang" ) .
Dengan demikian maka sesudah tahun 1876 perkara-perkara perdata atau pidana campuran („civiele of criminele" gemengde „zaken"), yang orang tergugat atau orang terdakwanya kawula Gubermen, termasuk wewenang Residentieraad, tanpa turut sertanya fihak Kasultanan. Demikian pula kawula Kasultanan, djika menjadi „medeplichtigen" kawula Gubermen, mulai tahun itu dan seterusnya langsung mendapat peradilan dihadapan „Residentieraad".
Menurut pasal 3 dari Resolusi tgl. 11 Juni 1831 No. 29 para Pangeran dan orang-orang berpangkat tinggi, yang menurut peraturan atau adat-kebiasaan Jawa tidak diadili oleh suatu pengadilan tetapi oleh Seri Paduka Sultan (dikecualikan dari kekuasaan Pengadilan, “voor criminele zaken"). Berhubung dengan itu maka diadakan Pengadilan tersendiri yang disebut pengadilan Kadipaten (Kroonprinselijke Rechtsbank), yang mempunyai kekuasaan mengadili perkara, „Putera-Sentana Dalem", keluarga sedarah dan semenda dari Raja- Raja dan terhadap Pegawai-pegawai tertinggi dari Kasultanan. sejak 1893 terhadap Surakarta, Gubermen berhak mengatur bebas soal justisi dan polisi, sedang Seri Paduka Sultan Hamengku Buwono VII pada waktu penobatannya menyatakan kesediaannya akan tunduk pada peraturan-peraturan yang akan-dibuat oleh Gubermen didaerahnya mengenai perbaikan polisi, dan justisi serta pengadilan tentang perkara-perkara polisi atau perkara-perkara pidana, misalnya dengan menempatkan asisten-asisten residen ditanah pedalaman.Terhadap peradilan perdata („civiele rechtsbedeeling") Gubermen terikat oleh apa yang telah ditetapkannya sendiri pada th. 1831. Dengan Stbl. 1903 No. 134 maka ditempatkan asisten-residen, seorang untuk Kulonprogo dan seorang untuk Gunung-Kidul. Pengadilan untuk „criminele zaken" yang didirikan mulai 1831 dihapuskan: Sebagai gantinya maka sesuai dengan keadaan dikaresidenan-karesidenan di tanah Gubermenan diadakan:
a. suatu „residentie-gerecht",
b. pengadilan „Landraad" di kota Jogjakarta untuk seluruh karesidenan,
c. pengadilan kabupaten, „regentschaps-gerecht", yakni: 2 di kota (satu untuk daerah Kasultanan, satu untuk daerah Pakualaman), 3 di Mataram (Kabupaten -Kalasan, Bantul, Sleman),
4 di Kulon-Progo Kabupaten Nanggulan, Sentolo, Pengasih dan Adikarta), dan 1 di Gunung - Kidul. Djadi semua 10.
Kemudian karena penetapan berlakunya„Reglement-Rechterlijke Organisatie" untuk Surakarta dan Jogjakarta, maka diadakan „districts gerecht Kalibawang (Kulon-Progo), ditiap-tiap district di Gunung-Kidul, kecuali di Wonosari, dan ditiap-tiap daerah-daerah enclave Pasargede, Imogiri dan Ngawen.
Setelah diadakan „reorganisatie tahun 1903" maka keadaan Pengadilan di Jogjakarta s.b:b.
a. di- Ibukota Jogjakarta: Pengadilan Surambi, Pradata, dan Bale-Mangu. Ketiga-tiganya sejak 1831 hanya mengadili perkara perdata (civiel)., sedang Pengadilan Surambi mulai 1903 diubah hanya mengadili perkara perceraian menurut hukurri Islam atas permohonan cerai dari isteri yang bertentangan dengan kemauan suaminya (rapak).
b. Pengadilan terhadap Putera-putera dan Sentana Dalem, (keluarga sedarah dan semenda dari Raja-Raja) dan terhadap pegawai-pegawai tertinggi yang disebutkan dalam stbl. 1903 No. 8. Disitu ditegaskan: yang diadili oleh pengadilan tersebut jalah: „keluarga sedarah dan semenda dari Raja-Raja, baik yang masih bertahta maupun yang tidak lagi bertahta, sampai turunan keempat, (jadi sampai dengan „Canggah Dalem").
c. I. 2 Pengadilan didalam Kraton ialah Pengadilan Kori dan Pengadilan Kadipaten, yang keputusan-keputusannya dapat dimintakan bandingan („hooger beroep") kepada „Pradata" atau „Pradata Dalem".
II. Pradata-pradata Kabupaten, 4 di Ibukota dan 8 di Kabupaten-kabupaten luar kota.
III. Pradata-pradata Kadistrikan.
IV. Pengadilan Kadanuredjan yang disebut juga Pengadilan Gedong Regol.
V. Pengadilan yang dilakukan oleh para Wadono golongan atau para Bupati Najaka terhadap para pegawai dilingkungannya masing¬masing, yang keputusan-keputusannya dapat dimintakan bandingan („hooger beroep") pada Pradata Dalem.
Gambaran keadaan pengadilan di Jogjakarta mulai tahun Masehi 1755 -sampai tahun 1903 tersebut diatas kami ambil dari buku „Vorstenlanden" karangan G.P: Rouffner, overdruk uit Adatsrecht bundel XXXIV, Serie D. No. 81 (1931) (hala,man 103- 142).
Selanjutnya dalam Stbl. 1917 No. 127 fatsal 1 ajat 1 ditentukan bahwa, dengan persetudjuan S.P. Sunan dan S.P. Sultan, semua peraturan mengenai urusan pengadilan di Karesidenan Surakarta dan Jogjakarta dicabut dan pengadilan-pengadilan aseli („inheemsch") yang ada di Karesidenan-karesidenan itu ditiadakan, melainkan, bahwa untuk kawula S.P. Sultan Jogjakarta masih dilangsungkan: Pengadilan Bale-Mangu untuk mengadili perkara-perkara tanah yang bukan perkara perdata; dan Pengadilan Surambi, untuk mengadili perceraian atas permohonan isteri yang bertentangan dengan kemauan suaminya (rapak), sedang terhadap keputusan pengadilan ini dapat dimintakan bandingan pada Pepatih Dalem, dan terhadap keputusan ini dapat dimohotikan ban¬dingan pada S:P. Sultan. Pengadilan Bale-Mangu itu nyatanya merupakan pengadilan administratief mengenai perkara tanah antara Patih dan para Bekel dan kulinya.
Untuk pelaksanaan fatsal ini maka kawula S.P. Sultan, yang menjadi pegawai Gubermen Hindia-Belanda, dianggap sebagai kawula Gubermen. Dalam fatsal 2 dari Stbl. tersebut diatas ditentukan demikian: Kecuali perkara-perkara Pcngadilan Surambi, yang belum ada putusannya „aanhangig"), maka sengketa-sengketa perdata („burgerlijke rechtsgedingen") terhadap kawula S.P. Sultan Jogjakarta, yang pada waktu mulai berlakunya ardonnantie ini, belum ada putusannya (aanhangig) pada pengadilan untuk perkara-perdata (Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale-Mangu dan Pengadilan Wadono=wadono Golongan) berpindah menurut hukum („van rechtswege") kepada pengadilan-pengadilan, yang wenang memutuskannya.
Djadi mulai berlakunya ordonnantie dalam Stbl. 1917 No. 127 pada 1 Juni 1917 boleh dikatakan habis semua pengadilan aseli di Surakarta dan Jogjakarta, dengan perkecualian tersebut diatas. sejak 1917 keadaan pengadilan-pengadilan di Jogjakarta seperti di Karesidenan lain-lainnya di Jawa dan Madura. Dengan lain perkataan: para kawula S.P. Sultan termasuk jurisdiksi Gubermen. Hanya saja S.P. Sultan masih mempunyai kekuasaan mengadili perkara keluarga sedarah dan semenda seperti telah disebutkan diatas.
Berhubung.dengan itu maka oleh S.P. Sultan diadakan dua pengadilan ialah:
1. Pengadilan Kraton Darah Dalem, yang mengadili perkara-perkara pidana dan perdata terhadap keluarga sedarah dan sementara turunan pertama dan kedua;
2. Pengadilan Kepatihan Darah Dalem, yang mengadili perkara-perkara yang sama terhadap keluarga sedarah dan semenda turunan ketiga, dan keempat. Dengan pranatan dalam Rijksblad 1927 No. 35 maka Kedua Pengadilan tadi didjadikan satu dengan diberi nama Pengadilan Kraton Darah Dalem yang tempat bersidangnya di tentukan dibagian Kraton, yang disebut Sri Manganti. Untuk dapat mengetahui lebih landjut tentang susunan dan segala-sesuatu mengenai Pengadilan, lihatlah Rijksblad Kasultanan th. 1927 No. 35 tersebut diatas.
Pada jaman Kemerdekaan, dalam tahun 1947 ketika Mr. Susanto Tirtoprodjo mendjabat Menteri Kehakiman, maka Pengadilan Kraton Darah Dalem tersebut, dengan pernyataan tiada berkeberatan dari S.P. Sultan Hamengku Buana IX dihapuskan, bersama-sama dengan „Pradata Gede" dari; Kasunanan dan „Pradata" dari Mangkunegaran. Penghapusan ini dilakukan dengan Undang-undang No. 23 tahun 1947 yang berlaku mulai pada tanggal diumumkannya, ialah pada tanggal 29 Agustus 1947. Di¬daerah Pakualaman sudah dihapuskan dalarn 1908 atas permintaan dari pihak Pakualaman sendiri.(Oleh: Darmosugito, dkk)