TOPENG IRENG

Sabtu, 21 Desember 2013

SENI topeng ireng, merupakan kesenian tradisional yang tumbuh subur di daerah Magelang. Dalam perkembangannya, kesenian ini juga mulai  berkembang di daerah lain, terbukti banyaknya grup-grup seni topeng ireng yang bermunculan. Meski begitu, seni topeng ireng ini diyakini sebagai kesenian asli Magelang, yang muncul pertama kali di daerah Caruban, Blongkeng, Ngluwar.“Keyakinan kami kalau seni topeng ireng ini aslinya dari daerah Blongkeng ini, karena adanya makam Pangeran Haryokusumo di sini. Menurut cerita kakek buyut saya, beliaulah yang menciptakan adanya seni topeng ireng ini,” tutur Mbah Parwadi (64), seorang tokoh seni topeng ireng dari Caruban, Blongkeng, Ngluwar.Konon ceritanya, Pangeran Haryokusumo ini seorang bangsawan dari kraton Surakarta, yang hidup di tahun 1700an. Pangeran Haryokusumo ini anti penjajah, dan diyakini sebagai pengikut setia Pangeran Mangkubumi, seorang pangeran dari Kraton Surakarta yang kala itu mengadakan pemberontakan dengan melawan kompen.
DARI cerita tutur diketahui, saat terjadi pertempuran di daerah Yogyakarta, P Haryokusumo ini terpisah dari pasukannya. Beliaupun dikejar pasukan Kompeni, hingga harus keplayu ke arah utara, dan tiba di suatu daerah yang masih berupa hutan belantara.Di tempat ini, P Haryokusumo sempat bersembunyi untuk beberapa lama, sambil melakukan topo broto. Suatu hari, ketika beliau sedang bersemedi di atas sebuah batu, keberadaannya sudah diketahui oleh Kompeni, yang saat itu langsung mengepungnya. Keajaibanpun terjadi. Pada saat sedang gawat itulah, tiba-tiba saja P Haryokusumo berubah menjadi kodok bangkong. Tentu saja, pasukan Kompeni sangat kaget melihatnya, sehingga pada lari ketakutan melihat kesaktian P Haryokusumo ini. ”Itulah kenapa, P Haryokusumo ini juga disebut dengan Pangeran Bangkong,” cerita Mbah Parwadi, ayah 5 anak ini.Meski bisa mengubah dirinya menjadi kodok bangkong, namun P Haryokusumo ini tak bisa berubah ke wujud aslinya. Hingga akhirnya, datanglah seorang sakti yang bernama Aki Boleng. Dengan kesaktiannya, Aki Boleng bisa mengubah wujud P Haryokusumo dari kodok bangkong menjadi manusia kembali.

KEDUANYA lantas babad alas di tempat itu dan mendirikan pemukiman. Langkah P Haryokusomo ini juga diikuti beberapa warga yang berdatangan ke tempat itu, lantas bersama-sama membangun perkampungan. Akhirnya daerah itu dikenal dengan Caruban, yang mengambil makna dari bercampurbaurnya P Haryokusumo dengan rakyatnya dalam membangun pemukiman.Namun dalam usahanya itu, P Haryokusumo juga mengalami gangguan, yang berasal dari para mahkluk gaib penghuni kawasan itu. Namun semua gangguan itu bisa berhasil diatasi P Haryokusumo, dengan bantuan para pengikutnya.Konon kampung Caruban berkembang menjadi perkampungan maju. Atas keberhasilannya ini, P Haryokusumo mengajak seluruh rakyatnya untuk bersenang-senang, dengan cara menari-nari. Tarian-tarian inilah yang diajarkan P. Haryokusumo, yang mengambil gerakan dari pencak silat untuk pembelaan diri.”Di dalamnya juga ada seni perangnya, yang diadopsi dari pengalaman P Haryokusumo selama berjuang melawan penjajah kompeni,” ujar Mbah Parwadi.
Topeng Ireng adalah tarian rakyat kreasi baru yang merupakan metamorfosis dari kesenian Kubro Siswo.
Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional berlatar belakang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Kubro berarti besar dan siswo berarti siswa atau murid, mengandung arti murid – murid Tuhan yang diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan. Kubro sisiwo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), sarana untuk mengingatkan umat islam dan manusia pada umumnya agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
Termasuk salah satu jenis kesenian tradisional khas Magelang. Konon, berasal dari daerah sekitar candi Mendut. Sejak tahun 1965 kesenian ini sudah ada di daerah Borobudur dan sekitarnya. Kapan dan dimana tepatnya diciptakan belum ada keterangan yang pasti.
Kubrosiswo juga sering dikaitkan dengan Ki Garang Serang, prajurit Pangeran Diponegoro yang mengembara di daerah Pegunungan Menoreh untuk menyebarkan Agama Islam. Dalam pengembaraannya, beliau memasuki hutan lebat yang masih banyak di huni oleh binatang buas. Ketika hutan itu dibakar, terjadilah pertentangan antara Ki Garang Serang dengan sekelompok binatang buas. Tetapi karena kesaktiannya, maka para binatang buas dapat tunduk dan mengikuti perintah beliau.
Selain menyebarkan Agama Islam, beliau juga berjuang mengusir penjajah. Tidak heran jika irama gerak dalam kubrosiswo bercirikan tarian prajurit yang ritmis dan padu dengan musik yang menggugah semangat. “roh” Kubro Siswo yang bersifat spiritual, enerjik dan genit.
Kesenian ini umumnya dipentaskan pada malam hari dengan durasi kurang lebih 5 jam dan ditampilkan secara massal, dengan musik pengiring mirip dengan lagu perjuangan dan qasidah, tetapi liriknya telah diubah sesuai misi Islam. Kesenian ini diiringi dengan bende, 3 buah dodok dan jedor. Dandanan mereka seperti tentara pada jaman keraton, tapi dari pinggang kebawah memakai dandanan ala pemain bola tak lupa ada “kapten” yang memakai peluit. Selain memadukan antara tari-tarian dan lagu serta musik tradisional, terdapat juga atraksi-atraksi yang menakjubkan. Diantaranya mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terdiri dari beberapa berang (istilah jawa bendho) dan yang lebih menariknya lagi beberapa penarinya ada yang kesurupan (ndadi, trance) atau kemasukan roh.
Adegan kesurupan ini merupakan penggambaran peperangan si Ki Ageng Serang dengan binatang –binatang buas perbukitan Menoreh, bedanya si binatang digantikan oleh pemain berbaju singa atau kerbau (kewanan). Seiring lecutan pecut dan bau kemenyan maka, menarilah binatang – binatang tersebut. Mereka akan unjuk kesurupannya dengan cara yang macam- macam. pemain yang kesurupan ada kecenderungan untuk mendekati jedor atau alat musik lain yang ramai dibunyikan saat itu.
Di akhir acara pawang akan memaksa para binatang untuk mendekati sebuah gentong, yang ternyata berguna untuk melepas roh asing yang menempel pada tubuh si penari. Ketika tubuh si penari berhasil dipaksa mendekati gentong dan doa pun di panjatkan, maka ia akan terkulai lemas. Ketika semua penari berhasil disembuhkan maka selesailah acara tersebut.
Dalam lagu yang dinyanyikan itu, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang diharapkan mampu mempengaruhi segi kognitif para penontonnya, terutama dalam hal pengetahuan keagamaan.
Salah satu contoh syair lagu dalam Kubro Siswo adalah :

Kito Poro Menungso

(Kita Semua Manusia)

Kito poro menungso ayo podo ngaji

(Kita semua manusia ayo mengaji)

Islam ingkang sampurno pepadanging bumi

(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi)

Ayo konco-ayo konco ojo podo lali

(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa)

Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni

(Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)

Yo iku aran neroko bebenduning Gusti

(Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan)

Paguyuban Kubro siswa di Bumisegoro (Krida Siswa) sempat timbul dan tenggelam dengan masa kejayaan pada saat dipimpin oleh bapak Bagiyo. Saat itu, cukup sering ditanggap main di antaranya oleh pengelola Taman Wisata Candi Borobudur atau oleh warga yang sedang hajatan.
Dalam perjalanannya kesenian tersebut berkembang menjadi kesenian Topeng Ireng. Nama Topeng Ireng sendiri berasal dari kata “Toto Lempeng Irama Kenceng”.Toto artinya menata, lempeng artinya lurus, irama artinya nada, dan kenceng berarti keras. Sedangkan “dayak” berarti sak ndayak ( ramai bersama-sama).
Oleh karena itu, dalam pertunjukan Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras dan penuh semangat.Busana bagian bawah yang digunakan oleh para penari menyerupai pakaian adat “suku Dayak atupun Indian” Sekitar tahun 1995.
Keistimewaan Daya tarik utama yang dimiliki oleh kesenian Topeng Ireng tentu saja terletak pada kostum para penarinya. Hiasan bulu warna- warni serupa mahkota kepala suku Indian menghiasi kepala setiap penari
Sedangkan kostum bagian bawah seperti pakaian suku Dayak, rok berumbai-rumbai. Untuk alas kaki biasanya mengenakan sepatu gladiator atau sepatu boot dengan gelang kelintingan yang hampir 200 biji setiap pemainnya dan menimbulkan suara riuh gemerincing di tiap gerakannya. Setiap pertunjukan Topeng Ireng akan riuh rendah diiringi berbagai bunyi-bunyian dan suara. Mulai dari suara hentakan kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para penonton. Musik yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan Topeng Ireng adalah alat musik sederhana seperti gamelan, kendang, terbang, bende, seruling, dan rebana. Alunan musik ritmis yang tercipta akan menyatu dengan gerak dan teriakan para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif, penuh dengan kedinamisan dan religiusitas. Para penari juga terlihat sangat ekspresif dalam membawakan tariannya. Tarian Topeng Ireng sebenarnya mudah untuk dipelajari karena gerakannya yang sederhana. Tidak ada gerak tubuh yang rumit, karena yang menjadi poin utama dari tarian ini adalah kekompakan. Semakin banyak penari yang turut serta, maka semakin indah kolaborasi yang tercipta. Berhubung Topeng Ireng diciptakan sebagai kolaborasi antara syiar agama Islam dan ilmu pencak silat, tarian para penarinya juga berasal dari gerakan- gerakan pencak silat yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Satu lagi yang menjadi keistimewaan tarian Topeng Ireng dibandingkan kesenian rakyat lainnya adalah gerakannya yang tidak monoton. Dari waktu ke waktu inovasi baru selalu dilakukan dalam tiap pertunjukan Topeng Ireng. Pengembangan unsur- unsur artistik dan koreografi pun dilakukan ,dan yang terpenting dengan kesenian ini kelestarian budaya bisa tetap dijaga serta bangga akan budaya sendiri……

Biarpun katrok..ndeso tapi inilah kami….
Sejumlah grup tari Topeng Ireng :

"Sinar Mudo" (Wonoboyo, Muntilan)

"Putra Rimba" (Ngadiwinatan, Borobudur)

"Caping Ireng" (Pabelan II, Mungkid)

"Santri Mudo" (Pasar Soko Talun, Dukun).

"Lowo Ireng" (Sidomulyo, Salaman)

"Topeng Seto" (Cakran, Borobudur)

"Anak Rimba" (Srigetan, Borobudur)

"Topeng Purba" (Kurahan, Borobudur)

"Satrio Mudo" (Gupit, Borobudur)                    

"Seto Aji Kumitir" (Kepil, Dukun)

"Gagak Ngampar" (Bandung Paten, Dukun)              

"Topeng Krido(KRIDO MUDHO)" (Pabelan IV, Mungkid)