Pelangi putih di atas imogiri

Sabtu, 21 Desember 2013

Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Pekan lalu, Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dan tak ada gemuruh gunung dan tak ada gempa. Yang ada gemuruh lain: ratusan ribu manusia membanjir berbelasungkawa, sejak jenazah tiba dari Jakarta sampai dengan tubuh itu diiringkan dengan kereta berkuda ke bukit-bukit kering di Imogiri
Pada saat “Ngarsa Dalem” wafat, Pemerintah  menetapkan bahwa seluruh prosesi pemakaman jenazah Sri Sultan ditanggung oleh Negara dan dilaksanakan dengan Upacara Militer penuh.
Dari Jakarta jenazah almarhum direncanakan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah menuju Bandara Adisucipto Yogyakarta dengan menggunakan sebuah pesawat Hercules C-130 bernomor badan 1341. Ini adalah pesawat Hercules yang khusus dipergunakan untuk menerbangkan para Pejabat Tinggi Militer maupun Sipil. Selain itu masih disiapkan pula beberapa buah Hercules dan pesawat terbang lain untuk keluarga dan para pelayat yang akan ikut sampai ke Yogyakarta.
Begitu iring-iringan jenazah tiba di Bandara Halim, mobil jenazah langsung merapat kebagian belakang pesawat Hercules nomor 1341, dan peti jenazah dengan takzim dimasukkan kedalam pesawat.
Keluarga terdekat (istri dan putra/putri almarhum) serta para Pejabat Tinggi VIP, termasuk Pak Pardjo dan beberapa Menteri,  ikut dalam pesawat VVIP tersebut.
Pilot Hercules VVIP itu mulai menyalakan mesin-mesin pesawat yang berjumlah 4 buah. Mesin nomor 1 dinyalakan, gagal. Dicoba lagi, gagal lagi. Mesin kedua dicoba dinyalakan, ternyata juga ‘mejen’ (tidak bisa distart). Keempat mesin mendadak semuanya ‘mejen’, tidak bisa dihidupkan! Semua prosedur sudah dijalankan, bahkan di’pancing’ dengan sebuah alat APU (Auxilliary Power Unit) diluar pesawat, tapi mesin tetap tidak mau menyala. Padahal sedari pagi pesawat itu sudah dicek kesiapan terbangnya sejak keluar dari hangar AURI dan tidak ada masalah. Suasana menjadi agak tegang. Pangab Try Soetrisno langsung memberikan komando untuk memindahkan peti jenazah Sri Sultan kepesawat Hercules cadangan yang sedianya disiapkan untuk para pelayat.
Setengah bercanda Pak Try berkata:
“Ngarsa Dalem memang betul-betul sangat merakyat, walaupun sudah seda (wafat) tapi jasad beliau masih tidak berkenan nitih (naik) pesawat terbang VIP”.

Dengan segera peti jenazah almarhum Sri Sultan dipindahkan ke pesawat Hercules yang lain. Dan pesawat yang satu ini betul-betul pesawat pengangkut prajurit, karena tempat duduknya menempel disepanjang dinding dan saling berhadapan, menyisakan ruangan cukup lebar ditengah-tengahnya. Disitulah akhirnya peti jenazah Sri Sultan diletakkan. Para keluarga dekat dan pejabat VIP ikut juga duduk berdampingan dikursi yang bentuknya sangat sederhana itu.
Kali ini tanpa kesulitan mesin dapat dihidupkan dan terbanglah pesawat Hercules (bukan VIP) yang sebetulnya hanya disiapkan untuk pesawat cadangan itu, menuju Bandara Adisucipto, Yogyakarta.
Duduk tepat disebelah peti jenazah almarhum Sri Sultan (bersebelahan dengan ibu Norma salah seorang istri Sri Sultan, yang konon mendampingi saat-saat terakhir almarhum di Washington, DC), saya tercenung.
Entah kebetulan atau entah apa, kejadian atau insiden mesin pesawat ‘mejen’ yang baru saja terjadi memang seolah menunjukkan aura dan ‘tuah’ seorang ningrat keturunan Panembahan Senapati, Raja Mataram (Islam) pertama yang terkenal mempunyai segudang ‘karomah’ dan konon sakti mandraguna.
Wallahu a'lam.
Mendarat di Bandara Adisucipto Yogyakarta, peti jenazah Sri Sultan HB IX langsung dibawa ke Kraton Yogyakarta. Menko Kesra Soepardjo Roestam selaku Irup berada di kendaraan terdepan dalam iring-iringan mobil jenazah tersebut, karena harus menyerahkan jenazah kepada pihak keluarga Kraton.
Seingat saya, setelah Upacara Penyerahan Jenazah oleh Irup Menko Kesra Soepardjo Roestam kepada wakil keluarga Kraton Yogyakarta, hari itu jenazah Sri Sultan disemayamkan semalam di Kraton Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menerima acara “pisowanan” (penghormatan) dari para kerabat, sentana dan abdi dalem. Termasuk para pejabat ‘nayaka praja’ (pejabat pemerintah) dilingkungan Kraton dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Seorang wanita tua di dekat Bandar Udara Adisucipto bahkan terdengar menangis, “Duh, Gusti, duh, Gusti….” Barangkali sebuah babad lain akan mencatat bahwa inilah pemakaman terbesar di abad ke-20, dalam hal jumlah manusia yang ikut serta. Dan banyak yang bakal setuju. “Ngarsa Dalem telah membuat pangeram-eram,” bisik seorang tamu kepada Pangeran Hadiwinoto, salah seorang putra raja Yogya yang wafat itu, ketika melihat hampir setengah juta manusia datang menyambut. Dan Hadiwinoto kemudian sadar: benar, Hamengku Buwono IX telah membuat sesuatu yang menakjubkan.
Hujan juga turun, tak disangka, setelah tiga bulan kota kering seperti konon itulah kebiasaan bila ada anggota keluarga keraton Yogya meninggal. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah Sri Sultan disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta, Selasa yang lalu. Sebuah teja aneh berwarna putih bahkan tampak di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung, dan dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam. Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan buat raja yang juga demokrat itu ialah rakyat, rakyat, rakyat. Rakyat itu pula yang sejak Jumat jam 14.00 hingga Sabtu jam 05.00 pagi pekan lalu antre untuk melihat dan menyembahyani jenazah Sri Sultan. Tak diketahui persis berapa jumlahl nya. Seorang abdi dalem keraton hanya mencatat bahwa sekitar 150 orang tiap menit masuk ke istana, untuk menghormati Sultan, yang hari itu terbaring di Bangsal Kencono itu tempat yang terakhir kali, di Hari Raya tahun 1986, ia pakai untuk duduk siniwoko, sebagai penguasa. Dari masa 16 jam hari itu, sebanyak 115 buku tamu habis, setelah mencatat 18 ribu pengunjung — padahal hanya sebagian pelayat yang mengisinya. Semuanya tanpa kegaduhan yang mengganggu. Keraton telah mengaturnya dengan rapi, meskipun tanpa ada panitia yang dibentuk. Agaknya, dalam tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun, suatu organisasi telah tersusun dan bisa berfungsi dengan baik. Sebutlah “Tepas Duworopuro”, misalnya. Lembaga ini yang mengurus pelayat. Sebut juga “tepas-tepas” (kantor dinas) lain, yang semuanya dikoordinasikan oleh “Parentah Ageng Keraton”, yang saat itu dipimpin oleh seorang yang sangat berwibawa, kakak Sri Sultan, G.B.P.H. Poeroebojo. Tapi hanya karena itukah semuanya rapi? Tampaknya tidak. Mungkin karena wibawa keraton, mungkin karena rasa hormat yang telah terbentuk beratus tahun, mungkin juga karena inilah kelebihan Yogya yang kini tampak bersih itu: selain kerapian di sekitar Bangsal Kencono yang angker dalam perkabungan itu, di luar ada kerapian yang lebih mengagumkan: rakyat Yogya yang sabar dan takzim.
Biarpun dalam berdesak-desak beberapa puluh orang luka, di antaranya patah kaki dan satu kemudian meninggal, pada dasarnya kekacauan tak ada. Seorang duta besar asing memberi komentar, melihat berjubelnya rakyat yang diatur oleh hanya beberapa orang polisi itu, “Di tempat lain, yang akan terjadi adalah kerusuhan.” Bahkan hujan yang cukup deras setengah jam tak membuat orang panik ataupun bergeming malam itu. “Pokoknya, saya harus bisa sungkem di depan Sultan, Mas,” kata Wardoyo, pedagang pasar berumur 48 tahun. Ia berdiri di situ sejak jam 13.30. Wardoyo sengaja datang dari Wonosobo. Ia memang anak seorang bekas abdi dalem keraton Yogya. Kata scorang pelayat lain, Joyodikromo, 67 tahun, tentang alasannya mau antre berjam-jam itu, “Anggaplah ini ungkapan prasetia kepada Ngarsa Dalem. Hanya ini bakti saya.” Tapi tak semua memang datang dengan niat seperti itu. Banyak yang hanya ingin tahu. Seorang yang kedapatan menangis di alun-alun utara ternyata juga punya alasan lain: ia tidak menangis untuk Sri Sultan, tapi ia kena pentungan polisi, ketika berebut mendesak. Tak semua juga tanpa kegembiraan. Tempat penyewaan pakaian peranakan, baju tradisional untuk pemakaman, laris. Bahkan juga penjahit, yang bekerja ekstra untuk melayani pesanan mendadak. Orang Yogya, termasuk mahasiswa, rupanya ingin ikut berduka ke Imogiri. Toko karangan bunga pada gilirannya ketawa. “Baru kali ini kami menikmati jerih payah membangun kios ini sejak 25 tahun lalu,” kata Wiro, pemilik kios bunga. Ia mendapat 250 pesanan. Harganya dari 10 ribu hingga Rp 300 ribu. Tapi bagaimanapun, malam itu adalah malam berdoa. Sebanyak 90 kelompok pengajian tampak bersembahyang di samping jenazah — meskipun, untuk menghormati Sultan, mereka tak pernah bisa lebih dekat dari 10 meter di bangsal yang berumur 232 tahun itu. Beberapa kali, bergiliran, rombongan wanita berbaris. Mukena mereka yang putih membentuk kontras yang syahdu pada latar bangsal yang merah dan oranye itu. Mereka khusyuk, di tepi sebuah ruangan luas yang redup. Di atas, yang ada hanya 48 buah lampu 40 watt, sumber-sumber cahaya yang terserak di langit-langit pendopo dalam kap-kap yang berukir. Dan dalam ketemeraman yang sama, satu rombongan biarawati Katolik hadir dalam doa, sementara di lantai lebih bawah ada sederet orang bersemadi cara Jawa. Dari sini pula terdengar seorang meratap, “Duh, Gusti, nyuwun pangapunten…” (Duhai, Paduka, maafkanlah hamba). Tapi suasana berkabung yang mencekam sesungguhnya berlangsung sebelum itu: Jumat pagi, ketika jenazah tiba dari Lapangan Udara Adisucipto. Suasana sangat hening, sejak dari alun-alun utara, tempat hanya ada suara wanita membaca Quran di menara masjid. Harum melati dan mawar dan dupa di mana-mana, dan tak mengherangkan: menurut B.R.A.Y. Kuswarjanti, seorang putri Sultan, ada tiga kuintal melati dan sekuintal mawar dipakai di pekabungan itu — dua kuintal di antaranya sumbangan Universitas Gadjah Mada. Apalagi di halaman Bangsal Ponconiti, di bawah relung Bale Antiwahono, di depan Gerbang Sri Manganti — semuanya di arah masuk utara Istana. Kira-kira setengah jam setelah lonceng keraton Kiai Brajanala disentakkan 9 kali, mobil ambulans yang dirakit istimewa — disiapkan dalam dua hari dengan nomor AB 9901 AA, datang. Tubuh Hamenku Buwono IX terbujur di dalamnya, dalam sebuah peti mati dari Amerika yang seberat 350 kilo dan panjang tiga meter. Untuk kedatangannyalah semua menunggu. Di pelataran dan di sekitar Bale Antiwahono, sepasukan elite ABRI, di bawah Kolonel Suranto, Dan Rem 071 Purwokerto, siap. Warna-warna baret mereka, merah, hijau, jingga, dan biru tua nampak seperti berkilat di bawah matahari pagi dan dikelilingi warna bangunan keraton yang redup itu. Empat belas prajurit Kopassus dengan baju tempur akan mengangkat peti yang berat itu, sementara 10 prajurit berbaret hijau dari Kostrad, tegak di sebelah kiri dan kanan ruangan, berdiri menyiapkan tembakan salvo.
Begitu ambulans tiba, para abdi dalem dalam pakaian peranakan yang biru gelap duduk bersimpuh di tanah. Seorang yang kebetulan berada dekat jenazah, tetap tegak, tapi ia memejamkan matanya seperti semadi. Para pangeran, calon menantu, dan para istri Sultan, termasuk Ny. Norma atau K.R.A. Nindyokirono yang baru datang dari Jakarta bersama jenazah, berdiri. Mangkubumi, putra tertua Sultan, dan Menteri Soepardjo Rustam, berjajar. Soepardjo Rustam bertugas menyerahkan jenazah dari pemerintah ke tangan keluarga. Mangkubumi, tinggi tegap dengan mengenakan kain bercorak Tirtoteja yang agak terang, dan dengan keris upacara Toya Tinaban di pinggang, mewakili keluarga. Tiba-tiba, peristiwa di luar acara terjadi. Seorang perempuan tua mendesak maju, menyeruak di antara para kerabat dekat keraton. Para petugas dan abdi dalem kaget, lalu mencegahnya. Tapi wanita itu lalu menjeritkan tangis yang menyayat dalam keheningan itu. Ia setengah memprotes, kenapa ia dihalangi, “Apa mentang-mentang saya ini rakyat kecil, lantas tak boleh melihat Sultan.” Tak ada sebenarnya yang tak boleh melihat Sultan raja yang begitu disenangi banyak orang itu, sultan yang mungkin lebih besar ketimbang raja Mataram lainnya itu, termasuk Sultan Agung (lihat Kolom Umar Kayam, halaman 91).
Belasungkawa untuknya telah jadi sesuatu yang universal. Presiden Reagan, yang telah menyediakan pesawat khusus kepresidenan Air Force Two, sebuah Boeing 707 berwarna putih-biru muda, juga mengirimkan kawat ke Presiden Soeharto, “Saya bersedih hati mendengar meninggalnya salah satu dari pahlawan negeri tuan….” Sultan Brunei mengirimkan seorang menteri, utusan khusus buat perkabungan ini. Presiden Soeharto — yang dekat dengan Sultan selama gerilya sampai dengan ketika harus memimpin Indonesia dari reruntukan ekonomi Orde Lama — bahkan menyempatkan menginap semalam di Gedung Agung sebelum paginya mengantar jenazah Sultan menjelang diberangkatkan ke Imogiri. Di depan Presiden pagi itulah peti, yang diletakkan di altar yang ditutupi batik cokelat keemasan, corak ‘Kampuh Tengahan’, dan diselimuti Sang Merah Putih, dibuka. Di dalamnya Sri Sultan terbungkus pakaian putih secara Islam. Mungkin karena ia wafat di AS, ia sempat tak diberi pakaian adat Jawa. Mungkin juga karena ia tak memerlukan itu lagi. Aturan adat toh tak dilupakan: di jenazah itu ada untaian melati bawang sepanjang semeter, dua kendi, kain mori putih, sapu lidi dan kentongan bambu — suatu syarat karena almarhum dimakamkan di hari Sabtu. Kemudian gending Monggang yang lirih dan suram itu pun berbunyi, dilantunkan oleh gamelan Kiai Guntur Laut — konon berasal dari zaman Majapahit di abad ke-14.
Jenazah, pada jam 08.30 itu, diangkat oleh 14 prajurit Kopassus, bersama dengan para pangeran. Di bawah payung agung Songsong Jene, perjalanan kebesaran ke bukit Imogiri dimulai. Langkah pelan, dengan Pak Harto dan Ibu Tien di antara pengiring yang hening itu, menapak ke arah selatan. Di Regol (Pintu) Magangan, peti dengan tubuh raja itu pun dinaikkan ke kereta berkuda yang telah menanti. Presiden, Pangeran Poeroebojo, dan Pangeran Mangkubumi melepas. Dari sini Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak kembali lagi.



******

sumber :

Pelangi putih di atas imogiri

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/10/15/NAS/mbm.19881015.NAS28386.id.html