Panembahan Senopati

Sabtu, 21 Desember 2013

Setelah bersemedi di tengah samudra pantai Parangtritis mmohon pada Gusti Allah agar dirinya di izinkan menjadiraja di tanah Jawa, Senopati lalu berjalan diatas air menuju darat,jalanya bagaikan berjalan diatas tanah saja hebatnya selama bersemedi di tengah samudra badanya tidak basah walau diterjang ombak berkali kali. Begitu dekat dengan bibir pantai alangkah terkejutnya Dia melihat Sunan KaliJaga berdiri di sana. Dia lalu bersujud dan memohon ampunkarena telah berani menyombongkan diri dengan ilmunya itu.
Sunan KaliJaga lalu berkata “Bangunlah hai putera Ki Gede Pemanahan.janganlah menuruti kelemahan hati yang menyerukan keserakahan,enyahkahkanlah bisikan setan itu,bangkitlah hai murid JakaTingkir!”. Senopati lalu bangkit,Sunan KaliJaga kemudian bertanya padanya “apakah benar kau sangat inin menjadi raja yang menguasai tnah jawa ini ?”.Senopati mengangguk perlhan, Sunan KaliJaga bertanya lagi “Meskipun itu berarti Kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang denga seluruh negeri Pajang yang selama inimenjadi negeri tumpah darahmu dan tempat almarhum ayahmu mengabdi ?”. Senopati lalu menundukan kepalanya,tubuhnya berguncang,air matanya melelehlalu pelan berkata “Hamba selalu memohon petunjuk Gusti Allah namun belum mendapat petunjukNya,mungkin Gusti Allah memberikan petunjuk lewat Kanjeng Sunan”. Sunan KaliJaga tersenyum lalu kembali membuka mulu“tnya “Baiklah Senopati,akan kuberikan pelajaran yang amat tinggi dari Kanjeng Rasul untuk mencpai kehidupan dunia dan akhirat”. Sunan KaliJaga menghela napas sebelum melanjukan wejangannya,lalu sambilduduk diatas sebuah batu karang Dia memulai wejangan kepada Senopati “Perng itu sesungguhnya hanyalahsuatu alat penghancuruntuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebathilan,diganti dengan yang baru.Timbulnya suatu peradaban ituadalah perombakan yang silam yang merusak diri sendiri.Agama Islam lahir sebgai penutuptidakada lagiagama yang di ridhai oleh Gusti Allah selain Islam,kitab suci Alquran lahir dari semua kitb sucisebelumnya yaitu Taurat,Zabur dan Injil.Memang sudah menjadi takdir Hyang Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelumAlquran itu akan selalu memusuhi para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk masuk Islam,dan diantara pemeluk Islam pun akan selalu muncul perbedaan,halitu dikarenakan terbatasnya daya berpikir manusia yang tidak akan pernah bisa menyingkap takdir Illahi”. Sambil memandang kearah laut selatan, Sunan KaliJaga menyedekapkan tngannya lalu melanjutkan ucapannya “Tanpa persengketaan manusia tidak kan bergairah untuk hidup lebih maju.Tanpa perangpun semua mahkluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu digantimanusia yanabaru untuk melanjukan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikian seterusnya sepertialam raya yng terus bergerak tak pernahdiam,demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti.Manusia sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi,kanak kanak,dewasa sampai kemudian mati,bagi yang tawakal berserah diri pada Gusti Allah tidakakan goncang hatinya. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia menjadi sadar,bahwa dia tak  berkuasa apa apadi dunia ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan. Perjalan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap, ada panas dan dingin, berubah- ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa.
Usia hidup dialam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas nerima kepada yang telah digariskan oleh Gusti Allah." Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya "Atma atau roh itu tak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh walaupun jasad yang menjadi tempatnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan wanita diasatukan, barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan barulah nampak, semenjak kecil hingga tua bangka, mereka tak menyadari bahwa mereka berasal dari tak tampak yaitu tiada. Kematian menjadi momok menakutkan bagi yang tak mengenal atmanya. Orang seringkali memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa orang saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran.
Yang menguasai manusia dialam lahir ilaha pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung raga seluruhnya. Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia, sedangkan atma sudah ada sebelum manusia lahir kedunia.
Tetapi janganlah menyekutukan atma dan pancaindra, karena didalam pancaindra itu terdapat nafsu-pikiran, itikad persaan dan akal. Siapa yang beritikad baik pikirannyapun akan tenang, nafsunya dapat terkendalikan, perasaannya akan lebih tajam, dan akalnyapun akan lebih cerdas. Siapa yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan akal budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi adalah yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang meniptakan alam semesta dengan segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam dalam diri manusia, setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu keduniawian. Siapa yang mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling esa berkuasa, maka dialah yang mengetahui kebenaran. Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin pasang, namun Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit pikirannya menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada dimana-mana dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya berpikir pada seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun kejalan yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertaqwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan Illahi sambil menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat yang diridhai Gusti Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut prikebajikan adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan hawa nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. siapa yang melihat bahwa benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui segala yang terjadi akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima. Bangkitlah engkau Senopati anakku! Kalahkanlah semua musuh- musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah jawa ini! Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh benci dan dendam.Mereka orang-orang yang berlindung dibawah kekuasaan Sulta Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar. Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senopati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunujuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam, wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah jawa ini telah berpindah dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram akan mencapai puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah jawa ini. kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat". Senopati mengankat kepalanya "Yang kanjeng Sunan wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti Allah mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?" Sunan Kalijaga Menjawab "”Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir kebawah. Lalu beranak sungai dihulu, dialirkan kesetiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura- pura memuja Illahi nmun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan Taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta darisetan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT”. Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Kota Gede "Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan membangun tembok dari batu bata disekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah selamat tinggal anakku, aku
hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu membangun tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan. Wejangan itupun diresapinya hingga kelak
tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama islam di tanah jawa ini.
SEKIAN


Pelangi putih di atas imogiri

Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Pekan lalu, Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dan tak ada gemuruh gunung dan tak ada gempa. Yang ada gemuruh lain: ratusan ribu manusia membanjir berbelasungkawa, sejak jenazah tiba dari Jakarta sampai dengan tubuh itu diiringkan dengan kereta berkuda ke bukit-bukit kering di Imogiri
Pada saat “Ngarsa Dalem” wafat, Pemerintah  menetapkan bahwa seluruh prosesi pemakaman jenazah Sri Sultan ditanggung oleh Negara dan dilaksanakan dengan Upacara Militer penuh.
Dari Jakarta jenazah almarhum direncanakan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah menuju Bandara Adisucipto Yogyakarta dengan menggunakan sebuah pesawat Hercules C-130 bernomor badan 1341. Ini adalah pesawat Hercules yang khusus dipergunakan untuk menerbangkan para Pejabat Tinggi Militer maupun Sipil. Selain itu masih disiapkan pula beberapa buah Hercules dan pesawat terbang lain untuk keluarga dan para pelayat yang akan ikut sampai ke Yogyakarta.
Begitu iring-iringan jenazah tiba di Bandara Halim, mobil jenazah langsung merapat kebagian belakang pesawat Hercules nomor 1341, dan peti jenazah dengan takzim dimasukkan kedalam pesawat.
Keluarga terdekat (istri dan putra/putri almarhum) serta para Pejabat Tinggi VIP, termasuk Pak Pardjo dan beberapa Menteri,  ikut dalam pesawat VVIP tersebut.
Pilot Hercules VVIP itu mulai menyalakan mesin-mesin pesawat yang berjumlah 4 buah. Mesin nomor 1 dinyalakan, gagal. Dicoba lagi, gagal lagi. Mesin kedua dicoba dinyalakan, ternyata juga ‘mejen’ (tidak bisa distart). Keempat mesin mendadak semuanya ‘mejen’, tidak bisa dihidupkan! Semua prosedur sudah dijalankan, bahkan di’pancing’ dengan sebuah alat APU (Auxilliary Power Unit) diluar pesawat, tapi mesin tetap tidak mau menyala. Padahal sedari pagi pesawat itu sudah dicek kesiapan terbangnya sejak keluar dari hangar AURI dan tidak ada masalah. Suasana menjadi agak tegang. Pangab Try Soetrisno langsung memberikan komando untuk memindahkan peti jenazah Sri Sultan kepesawat Hercules cadangan yang sedianya disiapkan untuk para pelayat.
Setengah bercanda Pak Try berkata:
“Ngarsa Dalem memang betul-betul sangat merakyat, walaupun sudah seda (wafat) tapi jasad beliau masih tidak berkenan nitih (naik) pesawat terbang VIP”.

Dengan segera peti jenazah almarhum Sri Sultan dipindahkan ke pesawat Hercules yang lain. Dan pesawat yang satu ini betul-betul pesawat pengangkut prajurit, karena tempat duduknya menempel disepanjang dinding dan saling berhadapan, menyisakan ruangan cukup lebar ditengah-tengahnya. Disitulah akhirnya peti jenazah Sri Sultan diletakkan. Para keluarga dekat dan pejabat VIP ikut juga duduk berdampingan dikursi yang bentuknya sangat sederhana itu.
Kali ini tanpa kesulitan mesin dapat dihidupkan dan terbanglah pesawat Hercules (bukan VIP) yang sebetulnya hanya disiapkan untuk pesawat cadangan itu, menuju Bandara Adisucipto, Yogyakarta.
Duduk tepat disebelah peti jenazah almarhum Sri Sultan (bersebelahan dengan ibu Norma salah seorang istri Sri Sultan, yang konon mendampingi saat-saat terakhir almarhum di Washington, DC), saya tercenung.
Entah kebetulan atau entah apa, kejadian atau insiden mesin pesawat ‘mejen’ yang baru saja terjadi memang seolah menunjukkan aura dan ‘tuah’ seorang ningrat keturunan Panembahan Senapati, Raja Mataram (Islam) pertama yang terkenal mempunyai segudang ‘karomah’ dan konon sakti mandraguna.
Wallahu a'lam.
Mendarat di Bandara Adisucipto Yogyakarta, peti jenazah Sri Sultan HB IX langsung dibawa ke Kraton Yogyakarta. Menko Kesra Soepardjo Roestam selaku Irup berada di kendaraan terdepan dalam iring-iringan mobil jenazah tersebut, karena harus menyerahkan jenazah kepada pihak keluarga Kraton.
Seingat saya, setelah Upacara Penyerahan Jenazah oleh Irup Menko Kesra Soepardjo Roestam kepada wakil keluarga Kraton Yogyakarta, hari itu jenazah Sri Sultan disemayamkan semalam di Kraton Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan untuk menerima acara “pisowanan” (penghormatan) dari para kerabat, sentana dan abdi dalem. Termasuk para pejabat ‘nayaka praja’ (pejabat pemerintah) dilingkungan Kraton dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Seorang wanita tua di dekat Bandar Udara Adisucipto bahkan terdengar menangis, “Duh, Gusti, duh, Gusti….” Barangkali sebuah babad lain akan mencatat bahwa inilah pemakaman terbesar di abad ke-20, dalam hal jumlah manusia yang ikut serta. Dan banyak yang bakal setuju. “Ngarsa Dalem telah membuat pangeram-eram,” bisik seorang tamu kepada Pangeran Hadiwinoto, salah seorang putra raja Yogya yang wafat itu, ketika melihat hampir setengah juta manusia datang menyambut. Dan Hadiwinoto kemudian sadar: benar, Hamengku Buwono IX telah membuat sesuatu yang menakjubkan.
Hujan juga turun, tak disangka, setelah tiga bulan kota kering seperti konon itulah kebiasaan bila ada anggota keluarga keraton Yogya meninggal. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah Sri Sultan disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta, Selasa yang lalu. Sebuah teja aneh berwarna putih bahkan tampak di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung, dan dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam. Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan buat raja yang juga demokrat itu ialah rakyat, rakyat, rakyat. Rakyat itu pula yang sejak Jumat jam 14.00 hingga Sabtu jam 05.00 pagi pekan lalu antre untuk melihat dan menyembahyani jenazah Sri Sultan. Tak diketahui persis berapa jumlahl nya. Seorang abdi dalem keraton hanya mencatat bahwa sekitar 150 orang tiap menit masuk ke istana, untuk menghormati Sultan, yang hari itu terbaring di Bangsal Kencono itu tempat yang terakhir kali, di Hari Raya tahun 1986, ia pakai untuk duduk siniwoko, sebagai penguasa. Dari masa 16 jam hari itu, sebanyak 115 buku tamu habis, setelah mencatat 18 ribu pengunjung — padahal hanya sebagian pelayat yang mengisinya. Semuanya tanpa kegaduhan yang mengganggu. Keraton telah mengaturnya dengan rapi, meskipun tanpa ada panitia yang dibentuk. Agaknya, dalam tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun, suatu organisasi telah tersusun dan bisa berfungsi dengan baik. Sebutlah “Tepas Duworopuro”, misalnya. Lembaga ini yang mengurus pelayat. Sebut juga “tepas-tepas” (kantor dinas) lain, yang semuanya dikoordinasikan oleh “Parentah Ageng Keraton”, yang saat itu dipimpin oleh seorang yang sangat berwibawa, kakak Sri Sultan, G.B.P.H. Poeroebojo. Tapi hanya karena itukah semuanya rapi? Tampaknya tidak. Mungkin karena wibawa keraton, mungkin karena rasa hormat yang telah terbentuk beratus tahun, mungkin juga karena inilah kelebihan Yogya yang kini tampak bersih itu: selain kerapian di sekitar Bangsal Kencono yang angker dalam perkabungan itu, di luar ada kerapian yang lebih mengagumkan: rakyat Yogya yang sabar dan takzim.
Biarpun dalam berdesak-desak beberapa puluh orang luka, di antaranya patah kaki dan satu kemudian meninggal, pada dasarnya kekacauan tak ada. Seorang duta besar asing memberi komentar, melihat berjubelnya rakyat yang diatur oleh hanya beberapa orang polisi itu, “Di tempat lain, yang akan terjadi adalah kerusuhan.” Bahkan hujan yang cukup deras setengah jam tak membuat orang panik ataupun bergeming malam itu. “Pokoknya, saya harus bisa sungkem di depan Sultan, Mas,” kata Wardoyo, pedagang pasar berumur 48 tahun. Ia berdiri di situ sejak jam 13.30. Wardoyo sengaja datang dari Wonosobo. Ia memang anak seorang bekas abdi dalem keraton Yogya. Kata scorang pelayat lain, Joyodikromo, 67 tahun, tentang alasannya mau antre berjam-jam itu, “Anggaplah ini ungkapan prasetia kepada Ngarsa Dalem. Hanya ini bakti saya.” Tapi tak semua memang datang dengan niat seperti itu. Banyak yang hanya ingin tahu. Seorang yang kedapatan menangis di alun-alun utara ternyata juga punya alasan lain: ia tidak menangis untuk Sri Sultan, tapi ia kena pentungan polisi, ketika berebut mendesak. Tak semua juga tanpa kegembiraan. Tempat penyewaan pakaian peranakan, baju tradisional untuk pemakaman, laris. Bahkan juga penjahit, yang bekerja ekstra untuk melayani pesanan mendadak. Orang Yogya, termasuk mahasiswa, rupanya ingin ikut berduka ke Imogiri. Toko karangan bunga pada gilirannya ketawa. “Baru kali ini kami menikmati jerih payah membangun kios ini sejak 25 tahun lalu,” kata Wiro, pemilik kios bunga. Ia mendapat 250 pesanan. Harganya dari 10 ribu hingga Rp 300 ribu. Tapi bagaimanapun, malam itu adalah malam berdoa. Sebanyak 90 kelompok pengajian tampak bersembahyang di samping jenazah — meskipun, untuk menghormati Sultan, mereka tak pernah bisa lebih dekat dari 10 meter di bangsal yang berumur 232 tahun itu. Beberapa kali, bergiliran, rombongan wanita berbaris. Mukena mereka yang putih membentuk kontras yang syahdu pada latar bangsal yang merah dan oranye itu. Mereka khusyuk, di tepi sebuah ruangan luas yang redup. Di atas, yang ada hanya 48 buah lampu 40 watt, sumber-sumber cahaya yang terserak di langit-langit pendopo dalam kap-kap yang berukir. Dan dalam ketemeraman yang sama, satu rombongan biarawati Katolik hadir dalam doa, sementara di lantai lebih bawah ada sederet orang bersemadi cara Jawa. Dari sini pula terdengar seorang meratap, “Duh, Gusti, nyuwun pangapunten…” (Duhai, Paduka, maafkanlah hamba). Tapi suasana berkabung yang mencekam sesungguhnya berlangsung sebelum itu: Jumat pagi, ketika jenazah tiba dari Lapangan Udara Adisucipto. Suasana sangat hening, sejak dari alun-alun utara, tempat hanya ada suara wanita membaca Quran di menara masjid. Harum melati dan mawar dan dupa di mana-mana, dan tak mengherangkan: menurut B.R.A.Y. Kuswarjanti, seorang putri Sultan, ada tiga kuintal melati dan sekuintal mawar dipakai di pekabungan itu — dua kuintal di antaranya sumbangan Universitas Gadjah Mada. Apalagi di halaman Bangsal Ponconiti, di bawah relung Bale Antiwahono, di depan Gerbang Sri Manganti — semuanya di arah masuk utara Istana. Kira-kira setengah jam setelah lonceng keraton Kiai Brajanala disentakkan 9 kali, mobil ambulans yang dirakit istimewa — disiapkan dalam dua hari dengan nomor AB 9901 AA, datang. Tubuh Hamenku Buwono IX terbujur di dalamnya, dalam sebuah peti mati dari Amerika yang seberat 350 kilo dan panjang tiga meter. Untuk kedatangannyalah semua menunggu. Di pelataran dan di sekitar Bale Antiwahono, sepasukan elite ABRI, di bawah Kolonel Suranto, Dan Rem 071 Purwokerto, siap. Warna-warna baret mereka, merah, hijau, jingga, dan biru tua nampak seperti berkilat di bawah matahari pagi dan dikelilingi warna bangunan keraton yang redup itu. Empat belas prajurit Kopassus dengan baju tempur akan mengangkat peti yang berat itu, sementara 10 prajurit berbaret hijau dari Kostrad, tegak di sebelah kiri dan kanan ruangan, berdiri menyiapkan tembakan salvo.
Begitu ambulans tiba, para abdi dalem dalam pakaian peranakan yang biru gelap duduk bersimpuh di tanah. Seorang yang kebetulan berada dekat jenazah, tetap tegak, tapi ia memejamkan matanya seperti semadi. Para pangeran, calon menantu, dan para istri Sultan, termasuk Ny. Norma atau K.R.A. Nindyokirono yang baru datang dari Jakarta bersama jenazah, berdiri. Mangkubumi, putra tertua Sultan, dan Menteri Soepardjo Rustam, berjajar. Soepardjo Rustam bertugas menyerahkan jenazah dari pemerintah ke tangan keluarga. Mangkubumi, tinggi tegap dengan mengenakan kain bercorak Tirtoteja yang agak terang, dan dengan keris upacara Toya Tinaban di pinggang, mewakili keluarga. Tiba-tiba, peristiwa di luar acara terjadi. Seorang perempuan tua mendesak maju, menyeruak di antara para kerabat dekat keraton. Para petugas dan abdi dalem kaget, lalu mencegahnya. Tapi wanita itu lalu menjeritkan tangis yang menyayat dalam keheningan itu. Ia setengah memprotes, kenapa ia dihalangi, “Apa mentang-mentang saya ini rakyat kecil, lantas tak boleh melihat Sultan.” Tak ada sebenarnya yang tak boleh melihat Sultan raja yang begitu disenangi banyak orang itu, sultan yang mungkin lebih besar ketimbang raja Mataram lainnya itu, termasuk Sultan Agung (lihat Kolom Umar Kayam, halaman 91).
Belasungkawa untuknya telah jadi sesuatu yang universal. Presiden Reagan, yang telah menyediakan pesawat khusus kepresidenan Air Force Two, sebuah Boeing 707 berwarna putih-biru muda, juga mengirimkan kawat ke Presiden Soeharto, “Saya bersedih hati mendengar meninggalnya salah satu dari pahlawan negeri tuan….” Sultan Brunei mengirimkan seorang menteri, utusan khusus buat perkabungan ini. Presiden Soeharto — yang dekat dengan Sultan selama gerilya sampai dengan ketika harus memimpin Indonesia dari reruntukan ekonomi Orde Lama — bahkan menyempatkan menginap semalam di Gedung Agung sebelum paginya mengantar jenazah Sultan menjelang diberangkatkan ke Imogiri. Di depan Presiden pagi itulah peti, yang diletakkan di altar yang ditutupi batik cokelat keemasan, corak ‘Kampuh Tengahan’, dan diselimuti Sang Merah Putih, dibuka. Di dalamnya Sri Sultan terbungkus pakaian putih secara Islam. Mungkin karena ia wafat di AS, ia sempat tak diberi pakaian adat Jawa. Mungkin juga karena ia tak memerlukan itu lagi. Aturan adat toh tak dilupakan: di jenazah itu ada untaian melati bawang sepanjang semeter, dua kendi, kain mori putih, sapu lidi dan kentongan bambu — suatu syarat karena almarhum dimakamkan di hari Sabtu. Kemudian gending Monggang yang lirih dan suram itu pun berbunyi, dilantunkan oleh gamelan Kiai Guntur Laut — konon berasal dari zaman Majapahit di abad ke-14.
Jenazah, pada jam 08.30 itu, diangkat oleh 14 prajurit Kopassus, bersama dengan para pangeran. Di bawah payung agung Songsong Jene, perjalanan kebesaran ke bukit Imogiri dimulai. Langkah pelan, dengan Pak Harto dan Ibu Tien di antara pengiring yang hening itu, menapak ke arah selatan. Di Regol (Pintu) Magangan, peti dengan tubuh raja itu pun dinaikkan ke kereta berkuda yang telah menanti. Presiden, Pangeran Poeroebojo, dan Pangeran Mangkubumi melepas. Dari sini Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak kembali lagi.



******

sumber :

Pelangi putih di atas imogiri

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/10/15/NAS/mbm.19881015.NAS28386.id.html

Babad Tanah Jawi (Perang Kang kaping pindho)

Karajan Karajan Islam lan Tekané Bangsa Europa tumekané Gempale Karajan Mataram lan Ambruké Vereenig de Oost indische Compagenie (VOC)

tahun 1500 - 1799

Perang Kang kaping Pindho

Bab I

Karajan Demak lan karajan Pajang

(1500 - 1582)


Wiwitané ing Tanah Jawa ana agama Islam ing antarané tahun 1400 - 1425.
Ing tahun 1292 ing tanah Perlak ing pulo Sumatra wis ana wong Islam; ing tahun 1300 ana wong Islam manggon Samudra Paséi. Ing pungkasané abad kang ping 14 ing Malaka iya wis ana wong Islam.
Tekané padha saka Gujarat. Saka Malaka kono agama Islam mencar marang Tanah Jawa, tanah Cina, Indhiya Buri lan Indhiya Ngarep.
Kang mencaraké agama Islam ing Tanah Jawa dhisike yaiku sudagar Jawa saka Tuban lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama Islam, dadiné Islam terkadhang sok kepeksa.
Sudagar sudagar jawa mau padha bali marang Tanah Jawa Wétan, sudagar Indhu lan Pèrsi uga ana sing teka ing kono lan nuli mencaraké agama Islam marang wong wong.
Sing misuwur yaiku: Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), séda ana ing Gresik ing tahun 1419, nganti saiki pasareané isih.
Bareng kuwasané karaton Majapait saya suwé saya suda, para bupati ing pasisir rumangsa gedhé panguwasané, wani nglakoni sakarep karep.
Para bupati mau lumrahè wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16 (tahun 1500 - 1525),
Jalaran saka iku kerep baé perang karo para raja agama Indhu kang manggon ing tengahing Tanah Jawa.
 Miturut carita: Sang Prabu Kertawijaya ing Majapait iku wis tau krama karo putri saka ing Cempa (tanah Indhiya Buri).
Putri mau kapernah ibu alit karo Radèn Rahmat utawa Sunan Ngampel (sacedhaké Surabaya).
Sunan Ngampel kagungan putra kakung siji, asma Sunan Bonang, lan putra putri siji, asma Nyai Gedhé Malaka.
Nyai Gedhé Malaka iku marasepuhé Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun, yaiku kang sinebut: Sultan Demak kang kapisan.
Sunan Ngampel lan Sunan Bonang iku dadi panunggalané para wali.

Para wali mau kang misuwur: Sunan Giri (sakidul Gresik), ana ing kono yasa kedhaton lan mesjid; Ki Pandan Arang (ing Semarang) lan Sunan Kali Jaga (ing Demak).
Ing tahun 1458 ing Demak wis ana mesjid becik.
Padha padha bupati ing pasisir pati Unus iku kang kuwasa dhéwé.
Pati Unus uga kasebut Pangéran Sabrang Lor.
Iku putrané Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun.
Ing tahun 1511 Pati Unus mbedhah Jepara,
Ing tahun 1513 nglurugi Malaka.
Enggoné tata tata arep nglurug mau nganti pitung tahun lawasé.
Lan bisa nglumpukaké prau kèhé nganti sangang puluh lan prajurit 12.000, apadéné mriyem pirang pirang.
Nanging panémpuhé bangsa Portegis ing Malaka nggegirisi, nganti Pati Unus kapeksa bali lan ora oleh gawé.
Pati Unus ing tahun 1518 uga ngalahaké Majapait nanging Majapait dhèk samana pancèn wis ora gedhé. Kuthané ora dirusak, mung pusaka kraton banjur digawa menyang Demak sarta Pati Unus ngaku nggentèni ratu Majapait.
Ing tahun 1521 Pati Unus séda isih enèm lan ora tinggal putra.
Kang gumanti rayi let siji yaiku Radèn Trenggana, jalaran rayiné tumuli: Pangéran Sekar Séda Lèpèn, wis disédani putrané radèn Trenggana, kang aran Pangéran Mukmin.
Sajroning jumenengé Sultan Trenggana (tahun 1521 - 1550) karaton Demak kuwasa banget, nguwasani Tanah Jawa Kulon, ngerèh kutha kutha ing pasisir lor lan uga mbawahaké jajahan Majapait, sarta karaton Supit Urang (Tumapel) uga banjur kapréntah ing Demak. Déné Blambangan iku bawah Bali.
Pelabuhan bawah Demak akèh sing ramé, kayata: Jepara, Tuban, Gresik lan Jaratan.
Gresik lan Jaratan iku sing ramé dhéwé, wong kang manggon ing kono luwih 23.000.
Ing tahun 1546 Sunan Gunung Jati kalawan Sultan Trenggana arep mbedhah Pasuruwan.
Kutha Pasuruwan banjur kinepung ing wadya bala, nanging durung nganti bedhah, pangepungé diwurungaké, jalaran Sultan Trenggana séda cinidra déning sawijining punakawan santana, kang mentas didukani.
Putrané Sultan Trenggana akèh. Putra putriné padha krama oleh priyayi gedhé gedhé.
Ana sing krama oleh bupati ing Pajang, kang asma: Adiwijaya, yaiku Mas Krèbèt, Ki Jaka Tingkir utawa Panji Mas.
Putrané Sultan Trenggana loro: Pangéran Mukmin utawa Sunan Prawata, lan Pangéran Timur, kang ing besuké dadi adipati ing Madura.
Sunan Prawata iku kang nyedani Pangéran Sekar Séda Lèpèn.
Ing semu putrané Pangéran Sekar Séda Lèpèn kang asma Arya Panangsang arep malesaké sédané kang rama.
Sakawit Arya Panangsang nyedani Pangéran Mukmin sagarwané, nuli putra mantuné Sultan Trenggana, ora oleh gawé, malah Arya Panangsang bareng dipapagaké perang, kalah nemahi pati.
Adiwijaya banjur nguwasani Tanah Jawa: amboyong pusaka kraton menyang Pajang lan nuli dijumenengaké Sultan déning Sunan Giri.
Nalika Adiwijaya jumeneng ratu ana ing Pajang, blambangan lan Panarukan kabawah ratu agama Syiwah ing Blambangan, kang uga mbawahaké Bali lan Sumbawa (tahun 1575).

Jajahan jajahan ing Pajang kapréntah ing pangéran (adipati) yaiku: Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang (Tegal), Purbaya (Madiyun), Blitar (Kedhiri), Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedhu sisih kidul kulon, sakuloné bengawan Sala.
Ana ing tanah Pasundhan karaton Pajang mèh ora duwè panguwasa, jalaran ing tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdikakaké déning Hasanuddin, dadi tanah kasultanan.



Perang Kang kaping Pindho

Bab II

Karajan Mataram Nalika Jumenenge Senapati

(1582 - 1601)


Ana wong linuwih sinebut Kyai Gedhé Pamanahan, asalé mung wong lumrah baé.
Jalaran saka akèh lelabuhané marang Sultan Pajang, banjur didadèkaké patinggi ing Mataram.
Nalika iku tanah Mataram durung reja lan Pasar Gedhé, padunungané Kyai Pamanahan mau isih awujud désa.
Putrané Kyai Gedhé Pamanahan kang asma Sutawijaya utawa Radèn Bagus, utawa Pangéran Ngabèhi Loring Pasar iku dipundhut putra angkat déning Sultan Pajang lan nganti diwasa tansah ana ing kraton , dadi mitrané Pangéran Pati yaiku Pangéran Banawa.
Ing tahun 1575 Sutawijaya gumanti kang rama ana ing Mataram, oleh jejuluk Sénapati Ing Ngalaga Sahidin Panatagama.
Panémbahan Sénapati (Sutawijaya) mau banget ing pangarahé supaya bisa jumeneng ratu.
Ing sasi Mulud ora ngadhep marang Pajang, lan Pasar Gedhé didadèkaké bètèng, ndadèkaké kuwatiré Sultan Adiwijaya.
Kelakon ora suwé banjur peperangan, Adiwijaya kalah lan ing tahun 1582 séda jalaran karacun.
Pangéran Banawa ora wani nglawan Sénapati.
Sénapati banjur ngaku jumeneng Sultan, sarta pusakaning kraton kaelih marang Mataram.
Sénapati ngerèhaké Mataram ing tahun 1586 - 1601.
Jajahan jajahan karaton Pajang kang wis kasebut ndhuwur kaerèhaké ing Mataram kanthi ngrekasa banget.
Sénapati kepeksa kudu kerep perang, kayata: perang karo Panaraga, Madiyun, Pasuruwan lan luwih luwih karo Blambangan.
Ewadéné Blambangan iku ora bisa kalah babar pisan. Karo Sénapati memitran.
Banten arep ditelukaké, nanging ora bisa kalakon.
Galuh pineksa karèh Mataram.

Ing nalika iku akèh kutha kutha pelabuhan kang ramé, padha ditekani wong Portegis, ora lawas wong Walanda iya padha nekani ing kono.
Dedagangané mrica, pala, cengkèh, kapas lan barang barang liyané akèh, nanging bab kawruh lan kagunan ora pati diperduli.
Ing tahun 1601 Sénapati séda, kang gumanti putra Mas Jolang. Pasaréyan Sénapati nunggal kang rama ana ing Pasar Gedhé sarta padha pinundi pundhi.



Perang Kang kaping Pindho

Bab III

Karajan Banten Lan Cirebon Wiwit Jumenenge

Sunan Gunung Djati (1527) tumeka

Sedane Maulana Mohamad

(1596)


Ing wiwitané abad kang ping 16 ing Tanah Jawa Kulon ana nagara aran Pajajaran, Kutha aran Pakuan. Kutha pelabuhan iya duwè, yaiku Banten lan Sundha Kalapa, nanging dedagangané durung ramé.
Awit saka Malaka ing tahun 1511 kacekel ing bangsa Portegis, para sudagar Islam padha dedagangan ana ing pasisiré lor Tanah Jawa Kulon.
Ing Banten nuli ana pedagangan gedhé, dagangané mrica.
Ing nalika iku ana wong Paséi (Sumatra), agamané Islam, teka ing Tanah Jawa Kulon merangi ratu ing Pejajaran nganggo prajurit saka ing Demak.
Wong Paséi mau ing tembéné aran Sunan Gunung Jati, mauné bok menawa aran Falètèhan.
Iku ipéné Radèn Trenggana. Marga saka pitulungané Radèn Trenggana ing tahun 1527 bisa mbedhah Sundha Kalapa (Jayakarta utawa Jakarta) lan Cirebon.
Ing tahun 1552 Sunan Gunung Jati ing Banten digentèni kang putra Hasanuddin.
Déné putra liyané kang asma Pangéran Pasaréan, iku kang nurunaké para Sultan ing Cirebon.
Falètèhan séda ing tahun 1570 ana ing Cirebon lan disarèkaké ana ing punthuk Gunung Jati.
Kutha Pakuan bedhahè sawisé tahun 1570. Para wong ing Tanah Jawa Kulon banjur dipeksa manjing agama Islam.
Nalika Falètèhan séda kang jumeneng Sultan ing Cirebon Panémbahan Batu, yaiku buyute Falètèhan mau.
Hasanuddin iku krama oleh putriné Pangéran Trenggana.
Bareng Pangéran Trenggana séda, karaton Banten banjur madeg dhéwé (tahun 1568).

Hasanuddin uga nelukaké Lampung, sarta raja Indrapura ngaturaké putrané putri minangka garwa.
Kutha Banten dadi ramé lan pelabuhané gedhé. Ananging kutha urut pasisir ana 750 M, déné ujuré marang dharatan +/- 1600 M.
Prau prau bisa lumebu ing kutha metu ing kali kang nrajang kutha mau; saiki kaliné wis waled, jalaran wedhi.
Kutha mau kang sasisih dipageri lan ana gerdhu gerdhuné panggonan prajurit jaga tuwin panggonan mriyem.
Hasanuddin séda ing tahun 1570, banjur kasarèkaké ing Sabakingking.
Kang gumanti kaprabon Pangéran Yusup.
Nalika iku wong Banten yèn nandur pari lumrahè ana ing pategalan (ladhang).
Sawisé dienèni pariné banjur ora ditanduri manèh, wong wongé banjur golèk panggonan liya digawé ladhang, yèn wus panèn iya diberakaké manèh, enggoné nanduri iya kaya kang wis mau.
Sing kaya mangkono iku tumraping lemahé mesthi baé ora becik.
Bareng Pangéran Yusup jumeneng Sultan, wong wong padha didhawuhi sesawah.
Jalaran saka iku wong tani iya kapeksa milih panggonan sing tetep, ora pijer ngolah ngalih, iku njalari anané désa désa.
Pangéran Yusup uga dhawuh yasa bendungan lan susukan susukan perlu kanggo ngelebi sawah.
Sing mbedhah kutha Pakuan iku iya Pangéran Yusup.
Ratu ing Pakuan séda, para luhur ing kono kapeksa mlebu Islam.
Sawènèh ana sing ngungsi marang pagunungan ing Banten Kidul; wong Beduwi iku turuné wong wong sing padha ngungsi mau.
Pangéran Yusup lumrahè karan Pangéran Pasaréyan (tunggal jeneng karo kang paman ing Cirebon).
Ing sasédané Pangéran Yusup, Pangéran Jepara utawa Pangéran Arya anjaluk jumeneng Sultan, nanging ora bisa kelakon, jalaran saka setyané Mangkubumi (Patih) ing Banten marang Pangéran Yusup.
Kang gumanti Pangéran Yusup, putra kang sisilih Maulana Mohamad.
Nalika iku yuswané lagi 9 tahun, mulané nganggo diembani ing Mangkubumi.
Sing maréntah kutha Jakarta sebutan Pangéran, dhisike Ratu Bagus Angké lan tumurun marang putra. Kutha mau kinubeng ing pager, ing jeroné pager ana mesjidé omah gedhé sing didalemi sang Pangéran, alun alun lan pasar.
Iku mau kabèh dumunung ing pusering kutha. Dagangané ora pati ramé kaya ing Banten. Tanah tanah sakubengé kutha isih kebak buron alas.
Cirebon iku uga ngréka daya bisané mardika saka Banten.
Sultan Cirebon mbawahaké sapérangané tanah Priyangan.
Watesé kang wétan Banyumas, kang kulon Cimanuk (Citarum),.
Bareng sepuhé, Pangéran Mohamad ditresnani ing kawula, jalaran saka mursid lan wasis.
Sang papatih Jayanagara banget setya marang ratuné.
Nalika iku Sultan Mohamad diaturi nglurugi Palembang déning Pangéran Mas, wayahè Sunan Prawata,
Sandyan patihé malangi, nanging Sultan Mohamad ngrujuki; kalakon ing tahun 1596 Palembang dilurugi.

Wadyabala ing Banten wis ngira bakal menang, dumadakan nalika Sultan Mohamad pinuju dhahar, kataman ing mimis, ndadèkaké sédané.
Sédané mau digawé wadi, mung wadyabala diundangi bali marang Banten.
Bareng layon arep disarèkaké, ing kono wong wong lagi ngerti yèn Sultan séda, lan ing wektu iku uga Pangéran Abulmafachir dijumenengaké Sultan, nanging yuswané lagi sawatara sasi, mulané pamaréntahing nagara kacekel ing Mangkubumi, manèh dibantoni ing Nyai Emban Rangkung, kang jalaran saka wicaksanané karan: Ratu Putri Ing Banten.
Ing pungkasané abad kang ping 16 Banten iku dadi kutha pedagangan kang ramé dhéwé ing saTanah Jawa.
Wong manca kang ana ing kono: wong Persi, wong Indhu saka Gujarat, wong Turki, Arab, Portegis, Melayu lan wong Keling.
Wong wong ngamanca mau lumrahè ngingu batur tukon lan juru basa.
Luwih luwih wong Cina, ing Banten akèh banget.
Bangsa Cina manggoné ana sajabaning temboking kutha, lan omahè apik apik.
Panggaotané wong manca padha kulak mrica.
Sing nganakaké dhuwit timbel (kètèng, gobang) ing Banten iya wong wong ngamanca mau. Dhuwit timbel 1.00 pengajiné +/- 20 sèn.
Pangan ing Banten murah banget, dhuwit 20 sèn baé tumraping wong ngamanca, wis turah turah. Hawané ing kutha ora becik, jalaran kali Banten ing biyèné becik, banjur dadi cethèk lan reged.
Dalan dalan padha kurugan ing wedhi, omah omahè isih gedhég, mung senthongé pasimpenan wis tembok.
Para priyayi padha duwè pakarangan isi wit krambil, sangarepé omah ana pendhapané lan ing pojoking latar sok ana langgaré.
Kejaba mesjid gedhé lan pamulangan, ing Banten mung ana omah gedhong siji, yaiku omahè Syahbandar.
Kajaba para luhur, wong kang ngibadah ing Banten ora akèh.
Para luhur padha ngagem sarung sutra, (terkadhang sinulam ing benang emas) serban lan keris, kenakané diingu dawa, wajané dipasahi lan tinrètès ing mas utawa disisigi.
Ngagemé sepatu utawa selop mung yèn ana ing dalemé baé.
Pandèrèké ana sing ngampil wadhah kinang, kendhi, payung, lampit lan tumbak.
Para luhur mau (para punggawa) padha milu ngerèh praja.
Ing mangsa perang para prajurit olèh keré, sandhangan lan pangan.
Para punggawa mau padha ngingu batur tukon akèh.
Ing Banten sing nyambut gawé temenan mung para batur tukon, wong cilik liyané mèh ora nyambut gawé, mulané padha ora kacukupan.
Yèn ana wong ora bisa mbayar utangé, iku banjur dadi batur tukon saanak bojoné.
Wong kemalingan ing Banten akèh; maling kang kacekel, kena nuli dipatèni.
Wong kang dosa pati, kena nebus dosané sarana mbayar dhendha marang Sultané.
Yèn ana wong lanang mati, Sultan wenang mundhut anak bojoné wong mau.
Jalaran saka iku akèh wong isih kenomen padha omah omah.
Kuwasané Sultan Banten gedhé banget, nanging prakara nagara lumrahè dirembug karo para luhur; pangrembugé wayah bengi ana ing alun alun.
Para luhur mau kang kuwasa banget Mangkubumi (patih), laksamana (panggedhéné prau lautan) lan sénapati.

Ing jaman samana kaanané kutha kutha ing Tanah Jawa kurang luwih iya mèmper karo kutha Banten iku.


Perang Kang kaping Pindho

Bab IV

Wong Portegis lan Sepanyol

(1513)


Wiwit jaman Rum mula wong Asia iku wis wiwit lawanan dedagangan lan wong Europa. Dagangan saka Asia Wétan, kayata: Tanah Indhu, Cina, apadéné kapulowan Moloko digawa ing kafilah, metu ing Afganistan, Persi, Syrie (Sam), banjur menyang Egypte (Mesir), jujugé ing Alexandrie.
Dagangan mau saka kono banjur dikirimaké menyang kutha kutha pelabuhan ing sapinggire Sagara Tengah, kayata: Rum, Vénétie lan Genua; banjur disebaraké ing nagara liya ing Europa.
Lakuné kafilah saka Hindustan ngrekasa banget, jalaran ana ing dalan kesuwèn, mangka kerep diadhang ing bégal.
Marga saka iku pametuné tanah Asia ana ing Europa dadi larang banget, samono uga bumbon saka kapulowan Moloko.
Bareng wong Turki mèlu mèlu gawé kasusahaning kafilah mau, bangsa bangsa Europa liyané banjur arep mbudi akal bisané oleh dagangan saka tanah Asia dhéwé ora nganggo metu dharatan, dadi arep ngambah sagara baé.
Nalika abad kang kaping 15 ing tanah Europa wus ana bangsa kang kendel banget lelayaran, yaiku bangsa Portegis.
Bangsa iku enggoné lelayaran saya suwé saya mangidul, nganti nemu pulo lan tanah pirang pirang enggon, wasana pasisiré tanah Afrika kang sisih lor kulon wus kawruhan kabèh.
Ing tahun 1486 ana nakoda bangsa Portegis aran Bartholomeus Dias, bisa tekan ing pongole buwana Afrika kang sisih kidul dhéwé.
Ing Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing Kalikut kutha ing tanah Indhu.
Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong Indhu, lan nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé ramé ing tanah Indhu kono.
d'Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu anom ing Asia nuli ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha kutha pelabuhan; Goa, Ormus lan Malaka genti genti dikalahaké.
Iya jamané d'Alburquerque (tahun 1509 - 1515), iku mumbul mumbule wong Portegis nguwasani tanah tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Macao.
Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duwè panguwasa ana ing Malaka, ing tahun 1513 nuli nakoda aran d'abreu, layar menyang Moloko.

Lakuné nganggo mampir mampir, kayata: menyang Gresik.
Ing wektu samono Gresik wis dadi kutha padagangan gedhé, wong wongé wis Islam.
Wong Portegis mau ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah dimungsuh baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong ing kono isih mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak.
Rèhné wong Portegis ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah ngrekasa banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten.
Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora percayané.
Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan pulo Timur.
Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku dagang ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan dedagangan ijèn ijènan (monopolie) lan Sultan ing kono.
Ing tembéné kang dadi dhok dhokané wong Portegis ing Ambon lan Bandha.
Ana ing pulo pulo Moloko lan ing pulo pulo Sundha Cilik sisih wétan wong Portegis padha mencaraké agama Kristen.
Bareng wong Portegis nemu dalané menyang tanah Indhiya, wong Sepanyol iya banjur arep nyoba uga menyang tanah Indhiya dhéwé.
Wong Genua aran Christophorus Columbus layar saka Sepanyol mangulon atas asmané Sang nata ing Sepanyol.
Saka panémuné Chr. Columbus wus tetéla yèn jagad iku bunder kepleng, dadi yèn saka Sepanyol terus layar mangulon mesthi banjur tekan ing jagad sisih wétan yaiku enggoné tanah Indhiya.
Yèn saka Indhiya diterusaké mangulon baé, mesthi banjur bali tekan ing Sepanyol manèh.
Ing tahun 1492 kelakon Chr. Columbus nemu kepulowan kang diarani kapulowan Indhiya, jalaran pametuné akèh emperé lan tanah Indhiya, nanging ora antara suwé tetéla yèn kepulowan mau dudu Indhiya, mulané mung banjur diarani kepulowan Indhiya Kulon.
Mungguh satemené kepulowan Indhiya Kulon iku wewengkoné buwana Amerika.
Saking kepenginé marang kauntungan lan misuwuring jeneng, banjur akèh baé wong Sepanyol kang napak dalané Chr. Columbus padha layar mangulon ketug ing Amerika.
Sawisé buwana Amerika kawruhan, nuli ana wong Portegis kang aran Magelhaen kang nedya menyang Indhiya metu Amerika atas asmané ratu Sepanyol.
Mangkaté Magelhaen sakancané wong Sepanyol ing tahun 1519 lakuné nurut pasisiré Amerika sisih kidul, njedul supitan ing saantarané pongol Amerika kang kidul dhéwé lan pulo Vuurland, saka kono terus ngalor ngulon nrajang Samodra gedhé, anjog ing kapulowan Filipina.
Wong Sepanyol nuli layar menyang Moloko, anjog ing Tidore.
Sultan Tidore bungah banget, awit bakal olèh lengganan bangsa Europa, mangka nalika d'Abreu teka ing Ambon diajak lengganan ora gelem, gelemé mung karo Sultan Ternate.




Sarèhné wong Sepanyol, kancané Magelhaen, kalah santosa karo wong Portegis, mulané bareng dimungsuh, banjur kapeksa mlayu menyang Jilolo, saka kono terus layar mangulon, nutugaké enggoné ngubengi bumi, tekané ing Sepanyol manèh tahun 1522.
Iya wong Sepanyol kang dipanggedhéni Magelhaen iku kang ngubengi bumi sapisan.
Wong Portegis bareng sumurup ana wong Sepanyol teka, banget panasé, ngudi, lungané wong Sepanyol saka tanah Indhiya, dadi bangsa loro mau padha memungsuhan.
Nanging ing tahun 1529 padha bedhami, jalaran watesing jajahan dipastèkaké déning Kangjeng Paus.
Wiwit tahun 1542 bangsa Sepanyol neluk nelukaké pulo pulo Filipina.
Jeneng Filipina iku kapirit asmané ratu ing Sepanyol (Filips II).
Lan ana ing pulo pulo mau banjur padha mencaraké agama Kristen.





Perang Kang kaping Pindho

Bab V

Tekane Wong Walanda

(1596)



Ing abad kang kaping 15 ing nagara Walanda bab misaya iwak maju banget ( iwak haring). Iwaké didol sumrambah ing tanah Europa.
Jalaran saka iku lelayarané prau prau momot barang dadi ramé.
Prau prau momotan mau kejaba momot iwak, uga nggawa barang barang liyané, kayata: mertega, kèju lan laken saka Nederland didol menyang Europa sisih lor lan kidul.
Soko Portegal wong Walanda kulak anggur lan uyah; saka tanah tanah sapinggire Sagara Wétan gandum lan kayu, lan saka Inggris wulu wedhus.
Awit saka iku kabèh lelayarané prau prau momotan ing satanah Europa kacekel ing tangané bangsa Walanda.
Ing wiwitané abad kang ping 16 Kutha Lissabon dadi pusering padagangan kang saka ing tanah Indhiya.
Kang mencaraké dagangan mau menyang tanah tanah liyané sapérangan gedhé iya bangsa Walanda.
Iku kabèh njalari wong Walanda banjur dadi sugih, wong kang mauné mung ngepalani prau prau momotan, banjur dadi nakoda utawa sudagar.



Ing pungkasané abad 16 wong Walanda banget pangudiné marang ada ada anyar lan banget kepenginé marang lelakon lelakon kang durung tau dilakoni, luwih luwih bareng krungu critané lelayaran marang Indhiya saka wong wong Walanda kang mauné manggon ing Portegal.
Apa manèh ing nalika iku akèh sudagar sudagar saka Nederland Kidul (Antwerpen) padha ngalih mangalor.
Kuwasané karajan Sepanyol tansah suda, perang karo bangsa Walanda lan Inggris kerep kalah.
Dedagangan ing Lissabon tumrapé bangsa Walanda banjur diengèl engèl amarga wiwit ing tahun 1580 Lissabon kebawah Sepanyol.
Jalaran saka sebab sebab ing ndhuwur mau kabèh, bangsa Walanda kenceng tekadé arep lelayaran menyang tanah Indhiya dhéwé, bathiné mesthi bakal luwih akèh, awit bisa kulak dedagangan saka ing panggonané asal.
Wiwitané nyoba lelayaran metu lor ngubengi buwana Asia, perluné nyingkiri bangsa Sepanyol, yaiku mungsuhé.
Sarèhné layar metu lor iku terang yèn rekasa banget, istingarah ora bisa kelakon tekan tanah Indhiya, nuli wong Walanda arep nékad metu kidul nurut pesisire buwana Afrika kaya wong Portegis.
Cacahing prau kang arep mangkat ana 4, kang ngepalani aran Cornelis de Houtman iku wis bisa oleh katrangan dalané menyang Indhiya ana ing Lissabon.
Déné kang dadi lelurahing jurumudhi wong pinter ing ngèlmu bumi aran Pieter Keyzer.
Ing tanggal 2 April tahun 1595 padha mancal saka dharatan, lakuné ana ing dalan ngrekasa banget, nanging tanggal 23 Juni 1596 kelakon tumeka ing Banten.
Satekané ing palabuhan Banten prauné wong Walanda dirubung ing prau cilik cilik padha nawakaké wowohan lan dodolan warna warna.
Ora suwé ing dhèk kebak wong Jawa, Arab, Cina, Keling lan Turki padha nawakaké dedagangan.
Wong Walanda medhun menyang dharatan; ing kono wis ana cawisan omah kanggo bukak toko.
Sawusé tekan dharatan banjur dodolan lan kulak dedagangan kang diimpi impi, yaiku mrica.
Nanging bareng padha rerembugan banjur padha pasulayan.
Wong Portegis weruh kang mangkono iku nuli ngréka daya supaya wong Walanda disengiti ing wong Banten.
Apamanèh Cornelis de Houtman iku wani kasar karo Mangkubumi ing Banten, lan sarèhning wong Banten kuwatir bok manawa kutha Banten bakal ditibani mimis saka ing prauné wong Walanda, Cornelis de Houtman sakancané 8 dicekel lan dilebokaké ing kunjara.
Cornelis de Houtman lan kancané 8 pisan mau iya nuli luwar, nanging sarana ditebus.
Bareng wong Portegis mbabangus manèh marang wong Banten, wong Walanda banjur ninggal Banten, awit uga weruh yèn ora bakal bisa oleh dedagangan ana ing kono.
Wong Walanda banjur layar mangétan urut pasisir loring Tanah Jawa nganti tekan Bali.
Saka kono banjur bali menyang nagara Walanda urut pasisiré Tanah Jawa kang sisih kidul.



Tekané ing nagara Walanda prauné kang mauné papat mung kari telu, wong kang mauné 248 mung kari 89.
Lan barang dagangan sing digawa apadéné bathiné mung sathithik banget.
Nanging sedyané kang gedhé iku wis kaleksanan, iya iku saiki dalan kang menyang tanah Indhiya wis kawruhan.
Nalika tahun 1598 ana prau Walanda manèh teka ing Banten, kang manggedhéni Yacob van Neck.
Sarèhné van Neck mau wong kang alus bebudèné ora kasar kaya de Houtman, dadi wong Walanda ditampani kalawan becik, dipèk atiné kenaa dijaluki tulung yèn ana nepsuné wong Portegis, malah van Neck oleh palilah katemu lan sang timur Abulmafachir ratu ing Banten lan van Neck ngaturi tinggalan tuwung mas.
Wong Walanda enggal baé oleh dedagangan mrica akèh.
Wiwit ing nalika iku akèh prau prau Walanda kang teka ing Moloko kulak mrica, pala lan cengkèh.
Dhok dhokané prau kang menyang tanah Indhiya iku ing Banten, dalasan prau kang saka ing Moloko, sanadyan wus kebak dagangan, kang mesthi iya nganggo mampir.
Suwé suwé pelabuhan ing Banten saya ramé déning prau Walanda kang teka lunga ing kono.
Ing wektu iku Sepanyol lan Portegis wiwit ngêdhèng enggoné perang karo bangsa Walanda ing tanah Indhiya.
Andreas Furtadho de Mendoca nggawa prau 30 saka Goa layar menyang tanah Indhiya, arep dhedawuh marang para panggedhé ing sakèhing kutha plabuhan nglarangi nampa wong Walanda; sakèhing wong Walanda kang wus ana ing kono kudu ditundhung.
Ing tahun 1601 ana prau Walanda teka ing supitan Sundha, kang manggedhéni Wolphert Harmens, ana ing dalan Wolpert Harmens wis oleh pawarta yèn Banten dikepung ing balané Furtadho perlu nglungakaké wong Walanda lan meksa marang Pangéran ing Banten ora kena ngayomi sakèhing Walanda.
Sandyan prauné Harmens mung lima, nanging nékad nempuh prauné wong Sepanyol.
Salungané wong Sepanyol saka ing Banten, Harmens mlebu ing plabuhan munggah menyang kutha.
Ora antara suwé ana prau Walanda teka manèh, panggedhéné aran Yacob van Heemskerck enggal baé oleh dedagangan, prauné kang lima wis kebak, nuli dilakokaké bali menyang nagara Walanda, déné prau sakariné banjur layar menyang Gresik.
Ana ing Gresik kono Heemskerck sawisé kebak prauné banjur bali menyang nagara Walanda.
Ing wektu iku para sudagar Inggris iya wis padha bathon nglakokaké prau menyang tanah Indhiya.
Ing tahun 1602 ana prau Inggris teka ing plabuhan Banten nggawa layang lan pisungsung saka ratuné.
Wong Inggris ditampani kalawan becik, dadi gampang nggoné golèk dagangan, sarta banjur kaidinan ngedegaké kantor.



Perang Kang kaping Pindho

Bab VI


Adegé Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.)

( tahun 1602)



Prauné wong Walanda kang padha layar menyang tanah Indhiya iku duwèké maskapé maskapé cilik.
Sanadyan kang nduwèni tunggal bangsa lan kabèh padha tulung tulungan yèn ana bebayaning dalan, èwa déné mungguh enggoné dedagangan ora pisan bisa rukun, malah padha jor joran murih bisa oleh dagangan akèh.
Bareng paprentahan luhur ing negara Walanda nguningani prakara iku banjur kagungan sumelang.
Saka karsané paprentahan luhur maskapé Walanda mau didadèkaké siji aran Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.), yaiku: Pakumpulan dedagangan ing tanah Indhiya Wétan, adegé nalika tanggal 20 Maret 1602.
VOC. mau diparingi wewenang dedagangan ing sawétané Kaap de Goede Hoop tekan ing supitan Magelhaens, déné maskapé utawa sudagar liya ora kena mèlu mèlu dedagangan ing kono (monopolie).
Wewenang panunggalané ing dhuwur iku: VOC. kena nganakaké prajangjian atas asmaning Staten Generaal karo sakèhing nagara klebu jajahané.
Kajaba iku Compagnie kena nganakaké prajurit, gawé bètèng, gawé dhuwit lan netepaké Gouverneur lan punggawa liyané.
Sakèhing punggawa kudu sumpah kasusetyané marang Straten Generaal lan pangrehing Compagnie.
Ing sabisa bisa VOC, kudu mèlu nglawan mungsuhé nagara Walanda.
Pawitané Compagnie iku olèhé adol layang andhil, siji sijiné andhil ora mesthi padha regané, ana kang f10.000 ana kang
f50.
Déné kang kena tuku andhil mau iya sadhengah wong, ora lawas VOC wus oleh pawitan f6.500.00.
Ing sakawit warga pangrèh (Bewindhebber) ing tanah Walanda ana 73, nanging ora lawas mung ditetepaké 60.
Para Bewindhebber mau akèh kauntungané, kayata: saben ana prau teka saka tanah Indhiya mesthi oleh bagéyan 1% né ajining momotané prau, mulané pangkat Bewindhebber mau dadi pepénginan.
Bewindhebber iku ana 17 kang pinilih kuwajiban nyekel paprentahan Compagnie ing saben dinané.
Pangrèhé Compagnie iku aran "Heren XVII, Directeuren utawa Mayores".

Saben 10 tahun para Bewindhebber kudu awèh katrangan pelapuran (verslag) bab panyekeling paprentahan marang Straten Generaal lan para aandeelhouder.
Prau prauné Compagnie kang dhisik dhéwé mangkat menyang tanah Indhiya dipanggedhéni Van Waerwijck, angkaté ing tahun 1602 uga.
Sakèhing lojiné maskapé maskapé lawas banjur didadèkaké lojiné VOC.
Loji utawa factorij iku wujud kantor diubengi ing gudhang gudhang lan omahè para punggawa.
Mungguh perluné loji mau kanggo tandhon dagangan.
Dagangan mau diklumpukaké ngentèni tekané prau prau.
Factorij iku terkadhang kinubeng ing bètèng tembok utawa tanggul, nanging kang mangkono iku ora mesthi, awit para ratu bangsa bumi kerep ora marengaké.
Kèhing factorij saya wuwuh, nanging terkadhang yèn arep ngadegaké factorij anyar iku nganggo ngesur ngalahaké wong Portegis dhisik, kayata: nalika tahun 1603 ana ing Banten, ora lawas ing Gresik, Johor, Patani, Makasar lan Jepara iya dianani factorij.Factorij ing Patani perluné kanggo lelawanan karo negara Cina, Jepang lan Indhiya Buri, awit dikira ngolèhaké kauntungan akèh, nanging jebul ora.
Karo Ceylon lan Aceh Compagnie iya lelawanan dedagangan, nanging sakawit mung sathithik pakolèhé.
Dagangan tanah Indhiya kang ngolèhaké kauntungan akèh iya iku bumbu crakèn, mulané VOC. kepéngin banget mengku kapulowan Moloko, kang iku para nakoda padha diwangsit, supaya merlokaké ngudi bisané nekem kepulowan bumbon crakèn mau, yèn ora kena dilusi sarana prajangjian iya kanthi wasésa.
Ing saenggon enggon angger Compagnie bisa becik karo ratu bangsa bumi mesthi banjur nganakaké prajangjian bisané lengganan ajeg (monopolie).
Pulo Ambon (cengkèh) iku pulo kang dhisik dhéwé dadi duwèking Compagnie.
Ora suwé saka kecekelé pulo Ambon ing kuwasané VOC. pulo Bandha Néra (pala) lan Bacan iya banjur kena diregem.
Marga enggoné menang perang iku, laku dagang bumbu crakèn katekem ing kuwasané Compagnie, sabab ana ing endi endi, angger tanah wus kaayoman mesthi dilarangi lelawanan dedagangan karo bangsa liya kajaba mung karo VOC. dhéwé sarta regané dagangan dipasthi (monopolie).
Para aandeelhouderé VOC. ing tahun 1610 didumi bathi 75%, wujud dhuwit utawa pala, kena milih ing sakarepé, nuli diedumi manèh 50%, dadi sataun baé tampané para aandeelhouder gunggung kumpul 132,5%
Nanging kauntungan samono iku mungguhing satemené kauntungan ing dalem 8 tahun, awit adegé VOC. wus ana 8 tahun, mangka lagi mbayar anakan sapisan iku.
Ing tahun 1611 para aandeelhouder tampa manèh 30%, nanging tumekané tahun 1619 wis ora oleh manèh.
Wong wong padha ora rujuk, yèn pambayaring anakan jag jog ora ajeg kaya mangkono iku, terkadhang akèh banget, terkadhang pirang pirang tahun nyet adhem baé.
Mulané sabakdané tahun 1625 pambayare dipranata, ing sabisa bisa diajegaké.
Racaké pambayaring anakan marang aandeelhouder mau ing saben tahun 18%.
Kajaba panyekeling dhuwit, cacading papréntahané Compagnie, isih ana manèh, yaiku enggoné kukuh ngencengi tindaking monopolie, nganti akèh warga VOC. kang metu saka pakempalan.

Ana sajabaning nagara Walanda, Compagnie uga duwè mungsuh kang nyumelangi:
Bangsa Inggris, iku ing tahun 1600 wis nganakaké Oost Indische
Compagnie, sarta ana ing Banten lan Moloko wis duwè kantor akèh.
Ing saenggon enggon bangsa Inggris tansah mbudi daya bisané
ngesur wong Walanda, mung baé enggoné mungsuh ora wani
ngedhèng, awit mundhak ngadekaké gèsrèking
préntah Walanda lan Inggris.

Ing wektu samono VOC. tansah merangi wong Sepanyol lan
Portegis, awit tanah Walanda peperangan lan bangsa loro mau ana
ing Europa.

VOC. lelawanan dagang karo bangsa Cina sarta Jepang. Ing tahun 1608 ana prau Compagnie loro layar menyang Jepang. Ana ing kono Compagnie diidini dedagangan lan ngadegaké loji.
Saka rembugé Frankrijk sarta Inggris, sanadyan Walanda lan Sepanyol ora sida bedhami, nanging ing tahun 1609 meksa lèrèn anggoné perang, padha sèlèh gegaman ing dalem 12 tahun.
Prakara tanah Indhiya katemtokaké ing prajangjian, yèn wong Walanda lestari kena ndarbèni jajahan enggoné ngrebut wong Sepanyol sarta Portegis, nanging siji sijining bangsa ora kena dedagangan ana ing jajahan kang wus dijègi ing liyan ing wektu awiting sèlèh gegaman.
Mungguh ing atasé tanah Indhiya awiting sèlèh gegaman iku kang mesthi kurang luwih let sataun karo ing Europa, awit tanah Indhiya nganggo ngentèni udhuning dhawuh.
Ana ing Indhiya ketara banget, yèn wong Sepanyol ora nganggep bedhami sèlèh gegaman iku; dadi VOC. kepeksa tansah tata tata nyentosani wadyabala lan samekta gegamaning perang.
Bangsa Inggris lan Portegis sok dibiyantoni ing wong bumi, merangi marang wong Walanda.
VOC. iku enggoné ngregani bumbon crakèn saka kepulowan Moloko murah banget, dagangané wong bumi dhéwé dilarang larang.
Tindak kaya mangkono iku ndadèkaké karugiané bangsa bumi, wasana banjur padha dagang colongan lelawanan lan wong Portegis, Inggris utawa Jawa.
Compagnie muring banget; kebon kebon pala lan cengkèh akèh kang dibabati minangka paukumaning wong pribumi.
Wong Bandha banget muringé, wuwuh wuwuh dibombong wong Inggris.
Admiral Verhoeff, utusané VOC. dicidra dipatèni.
Wasana ing tahun 1609 pulo Bandha malah banjur kena didadèkaké jajahan VOC.
Marga saka pakéwuh warna warna iku VOC. duwè panému yèn pangrèhé kudu kukuh, dikuwasani wong suwiji.
Nganti tumekané wektu semono, siji sijining loji ana pangrèhé dhéwé, para pangrèh ora merduli marang pangrèhé loji liyané.
Wiwit tanggal 1 September tahun 1609 sakèhing kantor lan èskader (kapal kapal perang) ing tanah Indhiya dikuwasani ing panggedhé suwiji, jenengé Gouverneur Generaal (GG.).

Gouverneur Generaal kang kawitan yaiku Pieter Both. GG. mau didhawuhi niti priksa kelakuwan, gawéyan lan uripé para punggawa.
GG. iku panyekelé paprentahan nganggo dibiyantu ing punggawa liya, jenengé Raad van Indie.
Cacahè warganing Raad van Indie sanga, kang lima tansah dadi kanthining GG., kang papat aran "Lid" mirunggan, padha dadi gouvernour ana ing papan liya, enggoné mèlu parepatan mung yèn ana rembug sing perlu perlu banget.
Pamutusing prakara kang perlu perlu GG. kudu njaluk rembugé Raad van Indie; wondéné GG. dadi pangareping parepatan.
Yèn parepatan ora bisa mutusi, putusané GG. dhéwé wus kanggep apsah.
GG. iku uga dadi sénapatining prajurit Dharatan lan lautan.
Pamanggèné Tuwan P. Both ana ing Ambon. Ana ing Moloko P. Both klakon bisa nggedhèkaké panguwasa, gawé kapitunané wong Sepanyol lan Portegis.
Ing tahun 1613 P. Both bali menyang tanah Walanda nanging ana pasisiré pulo Mauritus prauné Kèrem, P. Both dadi lan tiwasé.
G. Reynst jumeneng gumanti GG. kapilih ing para Bewindhebber, ing tahun 1615 digentèni L. Real.
Dhèk samono VOC. lagi karépotan awit wong Inggris saya katon enggoné mungsuh VOC.
Ana ing Banten panguwasané wong Inggris tansah mundhak.
Yan Pieterszoon Coen, Liding Raad van Indie banget sumelangé bok manawa jajahan VOC. bakal direbut ing wong Inggris.
Ing tahun 1616 wong Inggris ngejègi pulo Run, jajahané VOC. ing Moloko.
Ing nalika iku JP. Coen katetepaké nguwasani sakèhing prakarané VOC. ing Tanah Jawa.
Coen enggal tumandang merangi wong Inggris.
Kang iku ndadèkaké banget panasé wong Inggris sarta Pangéran Ranamenggala ing Banten.
Bareng ing tahun 1618 ana kabar yèn loji ing Jepara dirusak déning kawulané Panémbahan Mataram, lan tetéla banget, wong Inggris, wong Banten lan wong Mataram ayon nedya numpes wong Walanda, JP. Coen nuli ngalih saka Banten menyang Jakarta, loji ing kono didadèkaké bètèng.
Ora lawas JP. Coen ditetepaké dadi Gouverneur Generaal, tahun 1619.
Ing tahun iku wong Inggris lan Walanda enggoné memungsuhan padha déné ngedhèng.
Kantoré wong Inggris kang adhep adhepan bètèngé wong Walanda ing sapinggire kali Ciliwung iya nuli disentosani.
Kapalé wong Walanda siji dibeskup Sir Thomas Dale, panggedhéning èskader Inggris.
Coen sandika njaluk baliné, nanging wong Inggris malah mangsuli sugal.
Bètèng Inggris enggal ditempuh, nganti kena obong, tahun 1618.
Ora antara lawas bètèng Walanda dikepung ing mungsuh.
VOC. karépotan banget, marga kekurangan prau lan obat mimis.
Wong Jakarta ora ana kang gelem dadi kuliné; malah wong Jakarta nempuh bètèng Walanda, èskader Inggris gedhé ana segara dipethukaké prau Walanda, perangé dèdrèg, wasana kesaput ing wengi.
Esuké JP Coen ora wani methukaké prau Inggris manèh; putusaning rembug arep menyang Moloko njaluk bantu lan njupuk obat mimis.

JP. Coen weling wanti wanti marang Van den Broecke.
Yèn ana kapèpèté kepeksa nungkul, nungkula marang wong Inggris, aja nganti nungkul marang wong Jakarta utawa Banten.
Kacarita wong Inggris wus prajangjian lan wong Banten, nedya nempuh bètèng ing Jakarta.
Pangéran Jakarta, Wijaya Krama, gela banget, déné ora diajak rembugan ing wong Banten, nuli golèk akal bisané ngrebut bètèng dhéwé.
P. van den Broecke disuwuni bojana minangka pratandhaning pamitran.
P.v.d. Broecke kanthi punggawa pitu kalebu ing gelar, banjur cinekel lan kinunjara.
Van Raay sing nggentèni Van den Broecke dijaluki tebusan, ora mituruti.
Wasana wong Inggris lan Van den Broecke dhéwé awèh weruh marang wong Walanda supaya masrahna bètèng.
Van Raay kendhak atiné, nedya nungkul, wekasan ana jalaran kang murungaké sedyané Van Raay saandhahané.
Wong Banten ora awèh, yèn bètèng Jakarta tumiba ing wong Inggris.
Pangéran Jakarta ditungkeb, jajahané kagamblokaké marang Banten.
Rèhning wong Banten crah karo wong Inggris, èskader Inggris mundur saka Jakarta.
Bètèng Walanda dikepung ing wong Banten.
Bareng wong Walanda ngerti yèn bakal bisa uwal saka ing bebaya, banjur tumandang nyentosani bètèng manèh.
Bareng wis rampung wong Walanda padha bungah bungah nganakaké bujana, bètèng Jakarta dijenengi Batawi (tahun 1619).
Bareng lungané JP. Coen wis oleh patang sasi banjur bali nggawa prau nembelas.
Prajurit kang ngepung bètèng ditempuh bubar, kutha Jakarta digempur.
Coen nuli menyang Banten, wong Banten rumangsa ora kuwagang nglawan P. van den Brocke sakancané diulungaké.
Sarèhné v. d. Broecke lan van Raay dianggep kaluputan enggoné netepi wajibé, mulané tampa paukuman abot saka JP. Coen.
Tanah Jakarta banjur diaku ing VOC, JP Coen enggal mbangun Kutha Batawi, dipernata lan direjakaké.
Ing sacedhaké palabuhan didokoki omah, jenengé "Kasteel" ing kono dununging papréntahané VOC. ing satanah Indhiya.
Ing sarampungé prang Jakarta, Coen nedya males marang wong Inggris.
Nanging ing tahun 1620 kabar saka Europa yèn para panggedhéné VOC. ing tanah Walanda rukun karo Compagnie Inggris.
Kang iku ing tanah Indhiya uga Walanda karo Inggris iya kudu rujuk.
Wosing prajangjian mangkéné: Siji sijining Compagnie nganggo pawitan dhéwé dhéwé sarta kena sudagaran ing satanah Indhiya, nanging prajangjian monopolie kang mau mau dilestarèkaké.
Kulaké kudu bebarengan, oleh olèhané diparo. mung ing pulo pulo Moloko wong Inggris oleh saprateloné.
Prakara perang dadi tetanggungané Raad van Defensie, kang dadi wargané wong Walanda lan Inggris genti gentèn saben sasi.
JP. Coen banget ora senengé déné ana pranatan kaya mangkono iku, awit wong Inggris ora wenang oleh jajahané VOC,

Wong Inggris rumangsa disengiti wong Walanda, mulané ing saolèh oleh rekadaya bisané males marang VOC. Walanda.
Nalika wong Bandha mogok, kang ngojok ojoki wong Inggris.
Sarèhné ana Raad van Defensie warga Inggris ora pati sarujuk ngukum marang kraman mau, JP. Coen banjur pratéla yèn wong Bandha kang wenang ndarbèni iya mung wong Walanda.
JP. Coen nuli mangkat menyang Bandha, wong bumi diwisésa, dipatèni utawa dibuwang menyang Tanah Jawa.
Pulo pulo Bandha didum marang para Walanda tilas punggawané Compagnie, nanging diwajibaké nandur pala, lan pametuné kudu didol marang VOC.
Tindak sawenang wenang iku dadi cacade JP. Coen.
Ing wiwitané tahun 1623 JP. Coen lèrèh marga saka panjaluké dhéwé.
Kang gumanti jumeneng GG. saka panudingé Coen iya iku P. de Carpentier.
Durung nganti sasasi enggoné dadi GG., de Carpentier wis nemu reribet, gèsrèk lan wong Inggris.
Ana ing Ambon wong Jepang bebauning wong Inggris kacekel ing wong Walanda.
Bareng ditliti tliti, wong Jepang mau blaka yèn wong Inggris wis padha sumpah sumpahan sapunggawané Jepang nedya numpes wong Walanda lan ngrebut bètèng Victoria.
Tinemuning papriksan wong Inggris 9 wong Jepang 9 lan wong Portegis siji padha ngakoni, yèn pancèn duwè niyat kaya aturé wong Jepang mau. Nuli diukum kisas.
Karampungané pangrèh Walanda ing Ambon njalari crahing VOC. lan Compagnie Inggris.
Wong Inggris ing pulo Moloko padha lunga, ngejègi pulo Lagundi ana ing supitan Sundha, nanging sarèhné akèh kang mati utawa lara, banjur padha ngumpul ing Betawi.
Ora antara lawas wong Inggris ana ing Betawi ora bisa rukun karo wong Walanda, nuli padha lunga menyang Banten.
Wiwit adegé kutha Betawi tansah dibeciki: Coen wis ngadegaké pamulangan sarta murih ajuning dagangan, njupuki wong Cina saka Banten; kejaba iku Betawi uga dianani pangrèh kutha kang ngiras nyekel pangadilan.
Carpentier wiwit nganakaké pajeg dhuwit kanggo mbecikaké tindhaking piwulang sarta pangadilan lan manèh gawé yeyasan kanggo mitulungi marang bocah Walanda kang lola.

TOPENG IRENG

SENI topeng ireng, merupakan kesenian tradisional yang tumbuh subur di daerah Magelang. Dalam perkembangannya, kesenian ini juga mulai  berkembang di daerah lain, terbukti banyaknya grup-grup seni topeng ireng yang bermunculan. Meski begitu, seni topeng ireng ini diyakini sebagai kesenian asli Magelang, yang muncul pertama kali di daerah Caruban, Blongkeng, Ngluwar.“Keyakinan kami kalau seni topeng ireng ini aslinya dari daerah Blongkeng ini, karena adanya makam Pangeran Haryokusumo di sini. Menurut cerita kakek buyut saya, beliaulah yang menciptakan adanya seni topeng ireng ini,” tutur Mbah Parwadi (64), seorang tokoh seni topeng ireng dari Caruban, Blongkeng, Ngluwar.Konon ceritanya, Pangeran Haryokusumo ini seorang bangsawan dari kraton Surakarta, yang hidup di tahun 1700an. Pangeran Haryokusumo ini anti penjajah, dan diyakini sebagai pengikut setia Pangeran Mangkubumi, seorang pangeran dari Kraton Surakarta yang kala itu mengadakan pemberontakan dengan melawan kompen.
DARI cerita tutur diketahui, saat terjadi pertempuran di daerah Yogyakarta, P Haryokusumo ini terpisah dari pasukannya. Beliaupun dikejar pasukan Kompeni, hingga harus keplayu ke arah utara, dan tiba di suatu daerah yang masih berupa hutan belantara.Di tempat ini, P Haryokusumo sempat bersembunyi untuk beberapa lama, sambil melakukan topo broto. Suatu hari, ketika beliau sedang bersemedi di atas sebuah batu, keberadaannya sudah diketahui oleh Kompeni, yang saat itu langsung mengepungnya. Keajaibanpun terjadi. Pada saat sedang gawat itulah, tiba-tiba saja P Haryokusumo berubah menjadi kodok bangkong. Tentu saja, pasukan Kompeni sangat kaget melihatnya, sehingga pada lari ketakutan melihat kesaktian P Haryokusumo ini. ”Itulah kenapa, P Haryokusumo ini juga disebut dengan Pangeran Bangkong,” cerita Mbah Parwadi, ayah 5 anak ini.Meski bisa mengubah dirinya menjadi kodok bangkong, namun P Haryokusumo ini tak bisa berubah ke wujud aslinya. Hingga akhirnya, datanglah seorang sakti yang bernama Aki Boleng. Dengan kesaktiannya, Aki Boleng bisa mengubah wujud P Haryokusumo dari kodok bangkong menjadi manusia kembali.

KEDUANYA lantas babad alas di tempat itu dan mendirikan pemukiman. Langkah P Haryokusomo ini juga diikuti beberapa warga yang berdatangan ke tempat itu, lantas bersama-sama membangun perkampungan. Akhirnya daerah itu dikenal dengan Caruban, yang mengambil makna dari bercampurbaurnya P Haryokusumo dengan rakyatnya dalam membangun pemukiman.Namun dalam usahanya itu, P Haryokusumo juga mengalami gangguan, yang berasal dari para mahkluk gaib penghuni kawasan itu. Namun semua gangguan itu bisa berhasil diatasi P Haryokusumo, dengan bantuan para pengikutnya.Konon kampung Caruban berkembang menjadi perkampungan maju. Atas keberhasilannya ini, P Haryokusumo mengajak seluruh rakyatnya untuk bersenang-senang, dengan cara menari-nari. Tarian-tarian inilah yang diajarkan P. Haryokusumo, yang mengambil gerakan dari pencak silat untuk pembelaan diri.”Di dalamnya juga ada seni perangnya, yang diadopsi dari pengalaman P Haryokusumo selama berjuang melawan penjajah kompeni,” ujar Mbah Parwadi.
Topeng Ireng adalah tarian rakyat kreasi baru yang merupakan metamorfosis dari kesenian Kubro Siswo.
Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional berlatar belakang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Kubro berarti besar dan siswo berarti siswa atau murid, mengandung arti murid – murid Tuhan yang diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan. Kubro sisiwo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), sarana untuk mengingatkan umat islam dan manusia pada umumnya agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
Termasuk salah satu jenis kesenian tradisional khas Magelang. Konon, berasal dari daerah sekitar candi Mendut. Sejak tahun 1965 kesenian ini sudah ada di daerah Borobudur dan sekitarnya. Kapan dan dimana tepatnya diciptakan belum ada keterangan yang pasti.
Kubrosiswo juga sering dikaitkan dengan Ki Garang Serang, prajurit Pangeran Diponegoro yang mengembara di daerah Pegunungan Menoreh untuk menyebarkan Agama Islam. Dalam pengembaraannya, beliau memasuki hutan lebat yang masih banyak di huni oleh binatang buas. Ketika hutan itu dibakar, terjadilah pertentangan antara Ki Garang Serang dengan sekelompok binatang buas. Tetapi karena kesaktiannya, maka para binatang buas dapat tunduk dan mengikuti perintah beliau.
Selain menyebarkan Agama Islam, beliau juga berjuang mengusir penjajah. Tidak heran jika irama gerak dalam kubrosiswo bercirikan tarian prajurit yang ritmis dan padu dengan musik yang menggugah semangat. “roh” Kubro Siswo yang bersifat spiritual, enerjik dan genit.
Kesenian ini umumnya dipentaskan pada malam hari dengan durasi kurang lebih 5 jam dan ditampilkan secara massal, dengan musik pengiring mirip dengan lagu perjuangan dan qasidah, tetapi liriknya telah diubah sesuai misi Islam. Kesenian ini diiringi dengan bende, 3 buah dodok dan jedor. Dandanan mereka seperti tentara pada jaman keraton, tapi dari pinggang kebawah memakai dandanan ala pemain bola tak lupa ada “kapten” yang memakai peluit. Selain memadukan antara tari-tarian dan lagu serta musik tradisional, terdapat juga atraksi-atraksi yang menakjubkan. Diantaranya mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terdiri dari beberapa berang (istilah jawa bendho) dan yang lebih menariknya lagi beberapa penarinya ada yang kesurupan (ndadi, trance) atau kemasukan roh.
Adegan kesurupan ini merupakan penggambaran peperangan si Ki Ageng Serang dengan binatang –binatang buas perbukitan Menoreh, bedanya si binatang digantikan oleh pemain berbaju singa atau kerbau (kewanan). Seiring lecutan pecut dan bau kemenyan maka, menarilah binatang – binatang tersebut. Mereka akan unjuk kesurupannya dengan cara yang macam- macam. pemain yang kesurupan ada kecenderungan untuk mendekati jedor atau alat musik lain yang ramai dibunyikan saat itu.
Di akhir acara pawang akan memaksa para binatang untuk mendekati sebuah gentong, yang ternyata berguna untuk melepas roh asing yang menempel pada tubuh si penari. Ketika tubuh si penari berhasil dipaksa mendekati gentong dan doa pun di panjatkan, maka ia akan terkulai lemas. Ketika semua penari berhasil disembuhkan maka selesailah acara tersebut.
Dalam lagu yang dinyanyikan itu, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang diharapkan mampu mempengaruhi segi kognitif para penontonnya, terutama dalam hal pengetahuan keagamaan.
Salah satu contoh syair lagu dalam Kubro Siswo adalah :

Kito Poro Menungso

(Kita Semua Manusia)

Kito poro menungso ayo podo ngaji

(Kita semua manusia ayo mengaji)

Islam ingkang sampurno pepadanging bumi

(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi)

Ayo konco-ayo konco ojo podo lali

(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa)

Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni

(Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)

Yo iku aran neroko bebenduning Gusti

(Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan)

Paguyuban Kubro siswa di Bumisegoro (Krida Siswa) sempat timbul dan tenggelam dengan masa kejayaan pada saat dipimpin oleh bapak Bagiyo. Saat itu, cukup sering ditanggap main di antaranya oleh pengelola Taman Wisata Candi Borobudur atau oleh warga yang sedang hajatan.
Dalam perjalanannya kesenian tersebut berkembang menjadi kesenian Topeng Ireng. Nama Topeng Ireng sendiri berasal dari kata “Toto Lempeng Irama Kenceng”.Toto artinya menata, lempeng artinya lurus, irama artinya nada, dan kenceng berarti keras. Sedangkan “dayak” berarti sak ndayak ( ramai bersama-sama).
Oleh karena itu, dalam pertunjukan Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras dan penuh semangat.Busana bagian bawah yang digunakan oleh para penari menyerupai pakaian adat “suku Dayak atupun Indian” Sekitar tahun 1995.
Keistimewaan Daya tarik utama yang dimiliki oleh kesenian Topeng Ireng tentu saja terletak pada kostum para penarinya. Hiasan bulu warna- warni serupa mahkota kepala suku Indian menghiasi kepala setiap penari
Sedangkan kostum bagian bawah seperti pakaian suku Dayak, rok berumbai-rumbai. Untuk alas kaki biasanya mengenakan sepatu gladiator atau sepatu boot dengan gelang kelintingan yang hampir 200 biji setiap pemainnya dan menimbulkan suara riuh gemerincing di tiap gerakannya. Setiap pertunjukan Topeng Ireng akan riuh rendah diiringi berbagai bunyi-bunyian dan suara. Mulai dari suara hentakan kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para penonton. Musik yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan Topeng Ireng adalah alat musik sederhana seperti gamelan, kendang, terbang, bende, seruling, dan rebana. Alunan musik ritmis yang tercipta akan menyatu dengan gerak dan teriakan para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif, penuh dengan kedinamisan dan religiusitas. Para penari juga terlihat sangat ekspresif dalam membawakan tariannya. Tarian Topeng Ireng sebenarnya mudah untuk dipelajari karena gerakannya yang sederhana. Tidak ada gerak tubuh yang rumit, karena yang menjadi poin utama dari tarian ini adalah kekompakan. Semakin banyak penari yang turut serta, maka semakin indah kolaborasi yang tercipta. Berhubung Topeng Ireng diciptakan sebagai kolaborasi antara syiar agama Islam dan ilmu pencak silat, tarian para penarinya juga berasal dari gerakan- gerakan pencak silat yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Satu lagi yang menjadi keistimewaan tarian Topeng Ireng dibandingkan kesenian rakyat lainnya adalah gerakannya yang tidak monoton. Dari waktu ke waktu inovasi baru selalu dilakukan dalam tiap pertunjukan Topeng Ireng. Pengembangan unsur- unsur artistik dan koreografi pun dilakukan ,dan yang terpenting dengan kesenian ini kelestarian budaya bisa tetap dijaga serta bangga akan budaya sendiri……

Biarpun katrok..ndeso tapi inilah kami….
Sejumlah grup tari Topeng Ireng :

"Sinar Mudo" (Wonoboyo, Muntilan)

"Putra Rimba" (Ngadiwinatan, Borobudur)

"Caping Ireng" (Pabelan II, Mungkid)

"Santri Mudo" (Pasar Soko Talun, Dukun).

"Lowo Ireng" (Sidomulyo, Salaman)

"Topeng Seto" (Cakran, Borobudur)

"Anak Rimba" (Srigetan, Borobudur)

"Topeng Purba" (Kurahan, Borobudur)

"Satrio Mudo" (Gupit, Borobudur)                    

"Seto Aji Kumitir" (Kepil, Dukun)

"Gagak Ngampar" (Bandung Paten, Dukun)              

"Topeng Krido(KRIDO MUDHO)" (Pabelan IV, Mungkid)

Bedhaya Semang : The Sacred Dane Of Yogyakarta

Raja-raja Dinasti Mataram Islam terutama Panembahan Senopati dan Sultan Agung sering dihubungkan dengan Kanjeng Ratu Kidul, baik dalam bentuk cerita lisan maupun babad. Hal tersebut tidak lepas dari upaya legitimasi kekuasaan para raja tersebut. Dengan menghubungkan diri dengan tokoh mistik yang sangat dihormati, maka seorang raja akan memperoleh legitimasi yang kuat dan meminimalkan kemungkinan adanya pemberontakan.
Oleh karena itu, ketika Perjanjian Giyanti membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Surakarta meminta tari Bedhaya Ketawang sebagai pertunjukan sakral istana. Sedangkan kraton Yogyakarta, mencipta bedhaya Semang.
Tari Bedaya Semang adalah Salah satu tari putri klasik di Istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan dianggap sebagai pusaka. Hal ini dapat dibuktikan pada saat awal pertunjukannya para penari keluar dari Bangsal Prabayeksa, yaitu tempat untuk menyimpan pusaka-pusaka Kraton menuju Bangsal Kencono.
Tari Bedhaya Semang yang sangat disakralkan oleh Kraton merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara keturunan Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram Islam dengan penguasa Laut Selatan atau Ratu Laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Menurut Babad Nitik, Bedhayaadalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama semang (Bedhaya semang) diberikan oleh Sultan Agung.
 Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual istana, seperti peristiwa jumenengan. Berdasarkan tradisi yang telah ada, jumlah penari bedhaya terdiri dari sembilan orang. Penari Bedhaya tersebut mendapatkan status sebgai pegawai Kraton dengan sebutan abdi dalem Bedhaya (Lihat abdi dalem bedhaya).
 Jumlah penari sembilan orang dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia (babadan hawa sanga, Jawa), yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan. Satu lubang mulut dan satu lubang dubur. Penari Bedhaya semang yang berjumlah sembilan orang terdiri dari : batak, endhel, jangga (gulu), apit ngajeng, apet wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking dan buntil.

Para penari Bedhaya semang memakai busana yang sama. Hal itu merupakan simbolisasi bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dan wujud yang sama. Namun demikian tata busana yang dipakai para penari mengalami perubahan sesuai dengan kehendak sultan yang sedang memerintah. Busana yang dikenakan para penari bedhaya semang pada masa Sultan Hamengku Buwono I tidak diketahui bagaimana bentuknya karena tidak diketemukan gambar atau dukumen lainnya. Baru pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono V diperoleh gambaran secara rinci. Busana dan tata rias Tari Bedhaya semang mirip dengan busana dan rias mempelai istana. Busana tari Bedhaya semang mirip dengan hyusana dan rias mempelai istana. Busana Tari Bedhaya semang pada masa Sultan Hamengku Buwana VI adalah sebagai berikut : mekak (kemben, kain penutup badan atau dada), kain batik motif paranmg rusak sereden, udher cindhe, slepe dan keris sebagai lambang keprabon , hiasan kepala :rambut gelung bokor pakai klewer bunga melati, dikerik dipaes layaknya pengantin, cundhuk mentul, kelat bahu dan gelang yang kesemuanya menyerupaui pengantin istana.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamenku Buwana VII secara garis besar, busana yang dikenakan para penari Bedhaya semang masih sama dengan sebelumnya ( Sultan Hamengku Buwana VI) yaitu menggunakan baju tanpa lengan yang diberi gombyok, kain seredan, udhet cindhe, irambut digelung bokor dengan klewer di balut dengan bunga melati, cunduk mentul, dipaes juga seperti halnya pengantin, memakai gelang, slepe dan keris. Pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII pakaian penari Bedhaya semang sudah agak berbeda, tidak kerikan, tetapi menggunakan hiasan kepala jamang dan bulu-bulu, gelung bokor, ron kalung sung-sun, kelat bahu, gelang, baju tanpa lengan seperti pada masa Hamengku Buwana VII, kain seredan motif prang rusak, udhet cindhe. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX dan X yang dikenakan penari sama dengan yang digunakan pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII. Properti yang digunakan pada Tari Bedhaya Semangi dalam adegan peperangan dipergunakan senjata, yaitu : keris.
Komposisi tari Bedhaya yang berjumlah sembilan juga diasosiasikan dengan struktur tubuh manusia yang terdiri dari satu hati, satu kepala, satu leher, dua lengan, satu dada, dua tungkai, dan satu organ seks.
Jumlah angka sembilan melambangkan jumlah bilangan terbesar dan mempunyai arti yang sangat penting dalam pemikiran-pemikiran metafisika maupun kepercayaan orang Jawa. Selain itu jumlah sembilan dapat juga dipahami sebagai lambang mikroskopis (jagading manusia), yang dapat dilihat dalam peran yang yang dibawakan pada seiap penari yaitu :
-          Peran penari batak merupakan simbol akal pikiran dalam setiap jiwa manusia.
-          Peran endhel merupakan simbol dari perwujudan nafsu yang timbul dari hati,
-          Peran dhadha, merupakan perwujudan dhadha manusia , tempat mengendalikan diri.
-          Peran jangga, merupakan perwujudan leher (gulu, jawa) manusia.
-          perwujudan lengan kanan manusia Peran apit ngajeng merupakan
-          Peran apit wingking, merupakan perwujudan lengan kiri manusia
-          Peran endhel wedalan ngajeng merupakan perwujudan tungkai kanan manusia
-          Peran endhel wedalan wingking merupakan perwujudan tungkai kiri manusia.
-          Peran buntil merupakan perwujudan alat kelamin (organ seks).
Dalam tari Bedhaya semang, batak merupakan peran utama. Sedangkan endhel merupakan simbol kehendak di dalam setiap diri manusia. Peperangan terjadi antara peranan batak melawan endhel dalam posisi jengkang. Gerakan-gerakan tari Bedhaya semang bersifat kaku dan tidak boleh dilanggar, karena dalam setiap gerakan memiliki makna dan menyimbolkan maksud- maksud tertentu.
Gending yang dipergunakan untuk mengurangi tari bedhaya semang merupakan gending khusus dan perangkat gamelan khusus pula. Iringan yang dipakai dalam tari Bedhaya semang merupakan perpaduan antara instrumen musik jawa dengan instrumen musik Barat meliputi : alat tiup (trombone), dan instrumen musik gesek. Tercatat Serat Babad Nut Semang Bedhaya merupakan acuan dalam mengiringi tari Bedhaya semang. Lirik yang ada pada tari Bedhaya semang mengisahkan percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencono sari atau Ratu Kidul.

Pada perkembangan selanjutnya tari Bedhoyo semang menjadi induk dari beksan Budhaya di Kraton Yogyakarta.
Tarian sakral Bedhaya Semang dari Kraton Yogyakarta dipentaskan setelah sekitar 132 tahun tidak pernah dipertontonkan di depan umum. Bedhaya Semang terakhir dipentaskan pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1870 Masehi) dan biasanya tarian itu digelar setiap peringatan jumenengan (naik tahta) raja Mataram Islam, dan dilanjutkan dengan para raja di Kasultanan Yogyakarta. Gelar Bedhaya Semang di Bangsal Kencana, Kraton Yogyakarta adalah untuk memperingati kenaikan tahta ke-14 Sultan Hamengku Buwono X.
----000----

Parangtritis


Siapa yang tidak kenal dengan Pantai Parangtritis. Pantai yang terletak di pesisir selatan Yogyakarta itu memang indah. Namun, menyimpan misteri yang cukup legendaries di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan kisah tentang sosok Nyi Roro Kidul yang digambarkan suka dengan warna hijau itu.
Nama Nyi Roro Kidul adalah sebuah nama yang tentunya tidak asing melekat pada telinga seluruh masyarakat pulau jawa, khususnya masyarakat yang tinggal di pantai laut selatan, Nyi Roro Kidul adalah tokoh jaman dahulu kala yang merupakan salah satu putri dari Prabu Siliwangi yang memerintah kerajaan Padjajaran yang buruk rupa dikarenakan suatu penyakit, karena putus asa Nyi Roro Kidul tersebut bunuh diri dengan terjun ke pantai selatan yang sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Ratu, konon setelah terjun kelaut, Nyi Roro Kidul berubah menjadi putri yang cantik dan menjadi penguasa pantai selatan serta menjadi sebuah mitos dan legenda hingga saat ini.

Cerita serta mitos tentang Nyi Roro Kidul juga berkembang luas di masyarakat jawa tengah, terutama di daerah Parang Tritis Daerah Istimewa Jogjakarta, dimana cerita tersebut menyebutkan bahwa daerah Parang Tritis merupakan pertemuan Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam di daerah Kota Gede yang sekarang merupakan bagian dari wilayah jogjakarta, dalam mitos tersebut juga menceritakan bahwa Raja Sultan Agung sering mengadakan pertemuan dengan Nyi Roro Kidul di wilayah pantai selatan Jogjakarta yaitu di Parang Tritis serta Parang Kusumo

Beberapa versi menyebutkan bahwa Nyi Roro Kidul, oleh Raja Sultan Agung diangkat menjadi selir untuk memperkuat pemerintahan Raja Sultan Agung dengan menggabungkan kerajaan Mataram di dunia nyata dan kerajaan kasat mata yaitu di laut selatan, beberapa tokoh masyarakat serta paranormal berpendapat bahwa laut selatan merupakan kerajaan jin yang besar dan dipimpin oleh Nyi Roro Kidul.
Sejatinya, dikawasan Yogyakarta terdapat sekitar 13 obyek pantai yang tidak kalah indah. Meski menyimpan aura mistis, pantai yang berlokasi sekitar 27 Km dari kota Yogyakarta itu tidak pernah sepi dari pengunjung. Berbagai kisah menyeramkan seperti larangan menggunakan pakaian berwarna hijau atau disebutnya laut selatan kerap meminta tumbal tidak menyurutkan warga untuk datang.
Tetapi, benarkah fenomena terseretnya pengunjung ke tengah laut karena ulah Nyi Roro Kidul?
Para praktisi ilmu kebumian menegaskan bahwa penyebab utama hilangnya sejumlah wisatawan di Pantai Parangtritis, Bantul, adalah akibat terseret rip current. Dengan kecepatan mencapai 80 kilometer per jam, arus balik itu tidak hanya kuat, tetapi juga mematikan.
Kepala Laboratorium Geospasial Parangtritis I Nyoman Sukmantalya mengatakan, sampai sekarang informasi mengenai rip current amat minim. Akibatnya, masyarakat masih sering mengaitkan peristiwa hilangnya korban di pantai selatan DI Yogyakarta dengan hal-hal yang berbau mistis. Padahal, ada penjelasan ilmiah di balik musibah tersebut.
Arus balik merupakan aliran air gelombang datang yang membentur pantai dan kembali lagi ke laut. Arus itu bisa menjadi amat kuat karena biasanya merupakan akumulasi dari pertemuan dua atau lebih gelombang datang. “Bisa dibayangkan kekuatan seret arus balik beberapa kali lebih kuat dari terpaan ombak datang. Wisatawan yang tidak waspada dapat dengan mudah hanyut,” demikian papar Nyoman, Selasa (3/2) di Yogyakarta.
Celakanya, arus balik terjadi begitu cepat, bahkan dalam hitungan detik. Arus itu juga bukan hanya berlangsung di satu tempat, melainkan berganti-ganti lokasi sesuai dengan arah datangnya gelombang yang juga menyesuaikan dengan arah embusan angin dari laut menuju darat.
Nyoman melanjutkan, korban mudah terseret arus balik karena berada terlalu jauh dari bibir pantai. Ketika korban diterjang arus balik, posisinya akan mudah labil karena kakinya tidak memijak pantai dengan kuat. “Karena terseret tiba-tiba dan tidak bisa berpegangan pada apa pun, korban menjadi mudah panik, dan tenggelam karena kelelahan,” lanjutnya.
Staf Ahli Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Djati Mardianto, melanjutkan, apabila korban tetap tenang saat terseret arus, besar kemungkinan baginya untuk kembali ke permukaan. “Karena arus berputar di dasar laut sehingga materi di bawah bisa naik lagi,” ujar Djati.
Setelah mengapung, korban bisa berenang ke tepi laut, atau membiarkan diri terempas ke pantai oleh gelombang datang lain. Setidak-tidaknya, korban memiliki kesempatan untuk melambaikan tangan atau berteriak minta tolong.
Bagaimana dengan korban hilang? Djati mengatakan, hal itu dapat terjadi apabila korban terlalu kuat melawan arus saat berada di dalam air sehingga urung mengapung. Sebaliknya, korban akan semakin jauh terseret arus bawah laut dan bisa tersangkut karang atau masuk ke dalam patahan yang berjarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai.
Di dasar patahan yang kedalamannya mencapai ratusan meter itu, korban akan semakin sulit bergerak karena ia bercampur dengan aneka materi padat yang terkandung dalam arus.
Korban akan diperlakukan sama seperti material, yakni diendapkan. Korban baru bisa kembali terangkat ke permukaan jika ada arus lain yang mengangkat sedimen dari dasar laut. Namun, ia mengatakan, biasanya hal itu butuh waktu lama.
Meski sulit, diperkirakan kedatangannya, arus balik sebenarnya bisa dikenali. Menurut Nyoman, permukaan arus balik terlihat lebih tenang daripada gelombang datang yang berbuih. Selain itu, arus balik biasa terjadi di ujung-ujung cekungan pantai dan warnanya keruh karena membawa banyak materi padat dari pantai.
Masalahnya, banyak wisatawan justru senang bermain di pantai yang tenang karena dianggap lebih aman. “Padahal, lokasi tersebut amat berbahaya,” kata Nyoman.
Sejauh ini, cara terbaik untuk mengurangi risiko bencana terseret arus di pantai adalah dengan tidak bersikap nekat berenang ke tengah laut. Pengunjung harus benar-benar mematuhi rambu larangan berenang yang dipasang tim search and rescue (SAR) di sepanjang pantai
Selain itu, kondisi cuaca juga harus dipertimbangkan. Gelombang laut akan membesar di musim penghujan karena terpengaruh angin barat. Berenang di laut pada malam hari pun sebisa mungkin dihindari karena arus balik akan menguat akibat terpengaruh pasang. Menurut kedua pakar geomorfologi pesisir itu, tidak ada pantai di DIY yang aman. Semua memiliki potensi arus balik yang kuat. Bahkan, di sejumlah pantai di Gunung Kidul, arus balik kian diperkuat oleh buangan air sungai bawah tanah.
Pemerintah daerah juga bisa mempelajari pola-pola arus balik dengan melakukan pengamatan rutin sepanjang tahun menggunakan citra satelit beresolusi tinggi, seperti citra Quickbird dan IKONOS. Kedua satelit itu bisa merekam dengan jelas benda yang berukuran kecil hingga ukuran satu meter.
“Sejauh ini, penelitian ke arah sana baru sebatas pada skripsi mahasiswa. Belum ada penelitian yang mendalam dan menghasilkan rekomendasi kebijakan,” papar Djati.
Pemerintah daerah pun sebaiknya memberikan pemahaman yang benar mengenai penyebab bencana laut kepada warga di sekitar pantai. Informasi tersebut dapat diteruskan kepada wisatawan guna meningkatkan kewaspadaan mereka. Bagi pengunjung, informasi berupa papan larangan berenang dan imbauan petugas dianggap jelas belum cukup. Kenapa tak dibagikan leaflet kecil begitu pengunjung mau masuk pantai. Leaflet itu berisi penjelasan singkat, harus bagaimana dan di mana jika ingin mencebur ke laut.
Nyoman mengatakan, ketinggian air sepaha orang dewasa sudah cukup bagi arus balik untuk menyeret orang ke tengah laut. Paling aman, usahakan air hanya sampai ketinggian mata kaki.
Kita mungkin dapat melihat suatu arus balik dari suatu tempat yang lebih tinggi di pantai, atau dapat juga bertanya dengan penjaga pantai yang bertugas atau dengan penduduk setempat yang tahu di lokasi mana terdapat rip current. Berdasarkan pengamatan, sifat-sifat rip current dapat diketahui dengan :

Melihat adanya perbedaan tinggi gelombang antara kiri-kanan dan antaranya. Tinggi gelombang pada bagian kiri dan kanan lebih besar dari antaranya.
Meletakkan benda yang dapat terapung. Bila benda tersebut terseret menuju off shore maka pada tempat tersebut terdapat rip current.
Melihat kekeruhan air yang terjadi, dimana air pada daerah surf zone tercampur dengan air dari darat. Bila terlihat air yang keruh menuju off shore, maka tempat tersebut terdapat rip current. Kejadian ini dapat dilihat dengan jelas dari tempat yang lebih tinggi

Usaha yang harus dilakukan bila terseret rip current, adalah sebagai berikut:

Jika terperangkap dalam arus seret ke tengah laut, jangan mencoba untuk berenang melawan arus (ke tepi pantai),
Tenanglah untuk sementara mengikuti arus. Secepat arus seret berada di luar penghalang, atau kecepatan arus melambat dan kita merasa sedikit bebas dari pergerakan air yang cepat,
Berenanglah ke area di sebelah kiri/kanan kita dan baru kemudian berenang kembali ke arah pantai (atau mengikuti gelombang menuju pantai). Tentu saja kita harus tetap menjaga untuk tetap berada di luar arus seret tersebut.
------000------

Merapi

“ Salelebete tigang warsa, wusnya murup Ardi Mrapi. Tumunten ing Ardi Brama, Redi Kelut genti muni, tri Gunung Slamet muni, kang sekawan Redi Guntur. Pating jeglug swaranya. Punika kang mertandhani, badhe hoyag wong sanagri Pulo Jawa…”

Gunung Merapi dipercaya sebagai tempat keraton makhluk halus. Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram memperoleh kemenangan dalam perang melawan kerajaan Pajang dengan bantuan penguasa Merapi. Gunung Merapi meletus hingga menewaskan pasukan tentara Pajang, sisanya lari pontang-panting ketakutan. Penduduk yakin bahwa Gunung Merapi selain dihuni oleh manusia juga dihuni oleh makhluk- makhluk lainnya yang mereka sebut sebagai bangsa alus atau makhluk halus.Penduduk di daerah Gunung Merapi mempunyai kepercayaan tentang adanya tempat-tempat angker atau sakral. Tempat angker tersebut dipercayai sebagai tempat-tempat yang telah dijaga oleh mahkluk halus, dimana itu tidak dapat diganggu dan tempat tersebut mempunyai kekuatan gaib yang harus dihormati. Penduduk pantang untuk melakukan kegiatan seperti menebang pohon, merumput dan mengambil ataupun memindahkan benda-benda yang ada di daerah tersebut. Selain pantangan tersebut ada juga pantangan untuk tidak berbicara kotor, kencing atau buang air besar, karena akan mengakibatkan rasa tersinggung makhluk halus yang mendiami daerah itu.Tempat-tempat yang paling angker di Gunung Merapi adalah kawah Merapi sebagai istana dan pusat keraton makhluk halus Gunung Merapi. Di bawah puncak Gunung Merapi ada daerah batuan dan pasir yang bernama “Pasar Bubrah” yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat yang sangat angker. “Pasar Bubrah” tersebut dipercaya masyarakat sebagai pasar besar Keraton Merapi dan pada batu besar yang berserakan di daerah itu dianggap sebagai warung dan meja kursi makhluk halus.Bagian dari keraton makhluk halus Merapi yang dianggap angker adalah Gunung Wutoh yang digunakan sebagai pintu gerbang utama Keraton Merapi. Gunung Wutoh dijaga oleh makhluk halus yaitu “Nyai Gadung Melati” yang bertugas melindungi linkungan di daerah gunungnya termasuk tanaman serta hewan.Selain tempat yang berhubungan langsung dengan Keraton Merapi ada juga tempat lain yang dianggap angker. Daerah sekitar makam Sjech Djumadil Qubro merupakan tempat angker karena makamnya adalah makam untuk nenek moyang penduduk dan itu harus dihormati.Selanjutnya tempat-tempat lain seperti di hutan, sumber air, petilasan, sungai dan jurang juga dianggap angker. Beberapa hutan yang dianggap angker yaitu “Hutan Patuk Alap-alap” dimana tempat tersebut digunakan untuk tempat penggembalaan ternak milik Keraton Merapi, “Hutan Gamelan dan Bingungan” serta “Hutan Pijen dadn Blumbang”. Bukit Turgo, Plawangan, Telaga putri, Muncar, Goa Jepang, Umbul Temanten, Bebeng, Ringin Putih dan Watu Gajah.Beberapa jenis binatang keramat tinggal di hutan sekeliling Gunung Merapi dimiliki oleh Eyang Merapi. Binatang hutan, terutama macan putih yang tinggal di hutan Blumbang, pantang ditangkap atau dibunuh. Selanjautnya kuda yang tinggal di hutan Patuk Alap-alap, di sekitar Gunung Wutoh, dan di antara Gunung Selokopo Ngisor dan Gunung Gajah Mungkur adalah dianggap/dipakai oleh rakyat Keraton Makhluk Halus Merapi sebagai binatang tunggangan dan penarik kereta.Di puncak Merapi ada sebuah Keraton yang mirip dengan keraton Mataram, sehingga di sini ada organisasi sendiri yang mengatur hirarki pemerintahan dengan segala atribut dan aktivitasnya. Keraton Merapi itu menurut kepercayaan masyarakat setempat diperintah oleh kakak beradik yaitu Empu Rama dan Empu Permadi.Seperti halnya pemerintahan sebagai sebagai Kepala Negara (Empu Rama dan Empu Permadi) melimpahkan kekuasaannya kepada Kyai Sapu Jagad yang bertugas mengatur keadaan alam Gunung Merapi. Berikutnya ada juga Nyai Gadung Melati, tokoh ini bertugas memelihara kehijauan tanaman Merapi. Ada Kartadimeja yang bertugas memelihara ternak keraton dan sebagai komando pasukan makhluk halus. Ia merupakan tokoh yang paling terkenal dan disukai penduduk karena acapkali memberi tahu kapan Merapi akan meletus dan apa yang harus dilakukan penduduk untuk menyelamatkan diri. Tokoh berikutnya Kyai Petruk yang dikenal sebagai salah satu prajurit Merapi.Begitu besarnya jasa-jasa yang telah diberikan oleh tokoh-tokoh penghuni Gunung Merapi, maka sebagai wujud kecintaan mereka dan terima kasih terhadap Gunung Merapi masyarakat di sekitar Gunung Merapi memberikan suatu upeti yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Sudah menjadi tradisi keagamaan orang Jawa yaitu dengan mengadakan selamatan atau wilujengan, dengan melakukan upacara keagamaan dan tindakan keramat.Upacara Selamatan Labuhan diadakan secara rutin setiap tahun pada tanggal kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono X yakni tanggal 30 Rajab. Upacara dipusatkan di dusun Kinahrejo desa Umbulharjo. Di sinilah tinggal sosok Mbah Marijan sebagai juru kunci Gunung Merapi yang sering bertugas sebagai pemimpin upacara labuhan. Gunung Merapi dan Mbah Marijan adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Keberadaan lelaki tua Mbah Marijan dan kawan-kawannya itulah manusia lebih, mau membuka mata dan telinga batinnya untuk melihat apa yang tidak kasad mata di sekitar Gunung Merapi.Di Selo setiap tahun baru Jawa 1 Suro diadakan upacara Sedekah Gunung, dengan harapan masyarakat menjadi aman, tentram dan sejahtera, dengan panen yang melimpah. Upacara ini disertai dengan menanam kepala kerbau di puncak Merapi atau di Pasar Bubrah.

SEJARAH GEOLOGI
Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :
PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)
Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.
MERAPI TUA (60.000 - 8000 tahun lalu)
Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas, breksiasi lava dan lahar.
MERAPI PERTENGAHAN (8000 - 2000 tahun lalu)
Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan "de¬bris-avalanche" ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar.

MERAPI BARU (2000 tahun lalu - sekarang)
Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi Merapi menurut Berthommier, 1990
SEJARAH ERUPSI
Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).Merapi termasuk gunung api yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karenapencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunungapi juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidanlama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D. Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awanpanas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol. Awanpanas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 - 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 18221823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 - 1848 (200m), periode 1849 (250 - 400m), periode 1865 - 1871 (250m), 1872 - 1873 (480 - 600 m), 1930, 1961.

------00------